TIPE-TIPE MAKNA DALAM RAGAM BAHASA “VICKYNISASI”
DI MEDIA MASSA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN AJAR
KETERAMPILAN BERBICARA DI SMA
Proposal Penelitian
Dosen Pengampu: Prof.
Drs, Soeparno.

Disusun oleh:
Maya
Marliana
12003060
G/VI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa mempunyai fungsi yang sangat
penting bagi manusia, terutama fungsi komunikasi. Bahasa merupakan alat
interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap kegiatan, bahasa
dapat memberikan informasi yang berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan
maupun secara langsung. Komunikasi adalah penyampaian pesan dan maksud dari
seseorang kepada orang lain melalui bahasa. Dengan demikian, fungsi bahasa yang
paling utama adalah sebagai sarana komunikasi.
Dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi,
pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi kehidupan masyarakat.
Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi inilah yang menyebabkan hadirnya alat
atau mesin untuk menyampaikan bahasa. Oleh sebab itu tidak hanya dapat
disampaikan secara langsung bertatap muka dengan lawan tutur, tetapi juga dapat
disampaikan secara tidak langsung, yaitu melalui media perantara. Penyampaian
bahasa secara tidak langsung ini dapat ditemui pada media elektronik maupun
media cetak.
Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam proses kehidupan manusia
karena bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarmanusia.
Bahasa menjadi beragam dan bervariasi. Terjadi keragaman bahasa ini bukan hanya
disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan
interaksi sosial yang mereka lakukan sangat
beragam. Chaer (2010: 62) membagi variasi bahasa berdasarkan penutur dan penggunaannya. Berdasarkan penutur berarti: siapa yang menggunakan bahasa itu, di mana tinggalnya, bagaimana kedudukan
sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu
digunakannya. Berdasarkan penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan
alatnya dan bagaimana situasi keformalannya.
Berbahasa
merupakan salah satu aktivitas sosial. Salah satu ilmu yang mengkaji bahasa
sebagai objek sosial adalah sosiolingiustik. Sosiolinguistik merupakan kajian
tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2009:
1). Di dalam sosiolinguistik terdapat dialek sosial yaitu variasi bahasa pada
kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Perbedaan kelompok yang bersifat sosial
bisa ditentukan oleh jenis kelamin, umur, pekerjaan (Sumarsono, 2009: 25).
Variasi
bahasa di dalam masyarakat berbeda-beda tergantung kelas sosialnya. Kelas
sosial mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu
dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan,
kasta dan sebagainya (Sumarsono, 2009: 43). Kelompok masyarakat yang memiliki
status sosial rendah dialeknya tentu berbeda dengan kelompok masyarakat yang
memiliki status sosial tinggi. Biasanya masyarakat yang bersosial tinggi
bahasanya pun akan lebih tinggi daripada bahasa pada kelompok masyarakat
rendah. Karena masyarakat yang status sosialnya tinggi berarti juga
pendidikannya tinggi, sering membaca buku sehingga wawasan dan pengetahuannya
lebih tinggi.
Bahasa
juga sangat dekat dan berkaitan erat dengan suatu makna. Karena dengan makna
kita dapat mengerti apa maksud tuturan dari seorang penutur. Tetapi terkadang
penutur sering menggunakan bahasa yang sulit dimengerti maknanya. Seperti
tuturan seorang publik figur di media massa ketika sedang diwawancarai oleh
wartawan terkadang bahasanya terlalu tinggi dan sulit dimengerti. Hal itu
karena seorang publik figur tersebut ingin menarik simpatik dari masyarakat,
dan ingin dipandang wibawa di hadapan khalayak. Sehingga bahasa yang digunakan
seorang publik figur semakin beragam dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat
yang menontonnya.
Seperti
fenomena ragam bahasa yang dapat kita lihat baru-baru ini adalah bahasa ‘Vickynisasi’.
Istilah tersebut dibuat oleh seorang budayawan bernama Goenawan Mohamad untuk
pemakaian gaya bahasa yang dilontarkan oleh salah satu publik figur Indonesia
yang bernama Vicky Prasetyo. Bahasa yang terdengar intelek namun secara makna
terstruktur sangatlah kacau yang dilontarkan oleh Vicky Prasetyo tersebut kini
tersebar di media massa, baik televisi, radio, surat kabar, sampai jejaring
sosial. Sehingga fenomena bahasa tersebut dapat dengan mudah diaplikasikan atau
ditiru oleh masyarakat Indonesia karena bahasanya yang terdengar unik. Vickynisasi
menjadi tren bahasa gaul pada saat ini dan banyak ditiru oleh para remaja
Indonesia. Secara psikologis, Vickynisasi
adalah gejala kejiwaan masyarakat yang ingin mendapat pengakuan. Aktualisasi
diri seorang Vicky Prasetyo dalam hal ini menemukan momentumnya ketika ia
dibawa ke ranah publik melalui wawancara infotainment,
lalu disinilah sang komunikator mencoba memanfaatkan kemampuan inteleknya
melalui wawancara oleh wartawan, agar masyarakat memandangnya sebagai orang
yang berpendidikan tinggi.
Melihat
dari cara berbicara seorang Vicky Prasetyo dengan menggunakan bahasa yang
tinggi dan sulit dimengerti maknanya tersebut, penulis tertarik ingin
menganalisis tipe-tipe makna apa saja yang terkandung di dalam ragam bahasa
Vickynisasi yang demikian itu, agar ragam bahasa Vickynisasi dapat dengan mudah
dimengerti maksud dan kandungannya. Berkenaan dengan tipe-tipe makna,
pengertian makna itu sendiri disejajarkan dengan kata arti, gagasan, konsep,
pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi dan pikiran. Berbagai
pengertian itu begitu saja disejajarkan dengan kata makna karena keberadaannya
memang tidak pernah dikenali secara cermat dan dipilahkan secara tepat. Dari
sekian banyak pengertian yang diberikan itu, hanya ‘arti’ yang paling dekat
pengertiannya dengan makna. Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dan arti
memiliki keterkaitan atau kesamaan. Meskipun demikian bukan berarti keduanya
sinonim mutlak. Disebut demikian karena arti adalah kata yang telah mencakup
makna dan pengertian (Kridalaksana dalam Aminuddin, 2008: 50).
Berpijak dari
permasalahan di atas, penulis tertarik memilih judul “Tipe-Tipe Makna dalam Ragam
Bahasa ‘Vickynisasi’ Di Media Massa Sebagai Alternatif Bahan Ajar Keterampilan
Berbicara Di SMA”. Penulis memilih judul tersebut karena menimbang beberapa
alasan yaitu (1) bahasa Vickynisasi menjadi tren di media massa saat ini dan
banyak ditiru oleh masyarakat, terutama kaum remaja, (2) bahasa Vickynisasi
atau pengucapan bahasa yang dilontarkan oleh salah satu publik figur bernama
Vicky Prasetiyo di media massa, salah satunya televisi, terdengar unik meskipun
sulit untuk dimengerti, (3) penulis ingin mengetahui apakah tipe-tipe makna dalam
ragam bahasa Vickynisasi dapat digunakan sebagai alternatif bahan ajar
keterampilan berbicara atau tidak. Dari sini penulis ingin meneliti tipe-tipe makna
dalam ragam bahasa Vicky Prasetiyo atau lebih populer dengan sebutan bahasa ‘Vickynisasi’
yang kini banyak pula digunakan oleh kaum remaja di Indonesia.
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka masalah dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Tipe-tipe
makna dalam ragam bahasa Vickynisasi.
2. Tindak
tutur dalam penggunaan ragam bahasa Vickynisasi.
3. Perubahan
makna pada ragam bahasa Vickynisasi.
4. Faktor-faktor
penyebab penggunaan ragam bahasa Vickynisasi.
5. Bahasa
serapan dalam ragam bahasa Vickynisasi.
6. Ragam
bahasa Vickynisasi sebagai alternatif bahan ajar keterampilan berbicara di SMA.
C.
Pembatasan Masalah
Agar
penelitian lebih terarah, maka permasalahan dapat dibatasi sebagai berikut.
1. Tipe-tipe
makna yang terdapat di dalam ragam bahasa ‘Vickynisasi’ di media massa.
2. Ragam
bahasa Vickynisasi sebagai alternatif bahan ajar keterampilan berbicara di SMA.
D.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa
sajakah tipe-tipe makna yang terdapat di dalam ragam bahasa ‘Vickynisasi’ di
media massa?
2. Apakah
ragam bahasa Vickynisasi dapat atau tidak dijadikan sebagai alternatif bahan
ajar keterampilan berbicara di SMA?
E. Tujuan Peneltian
1. Untuk
mendeskripsikan tipe-tipe makna yang terdapat di dalam ragam bahasa
‘Vickinisasi’ di media massa.
2. Untuk
mengetahui apakah ragam bahasa Vickynisasi dapat atau tidak dijadikan sebagai
alternatif bahan ajar keterampilan berbicara di SMA.
F. Manfaat Peneltian
1. Manfaat
Teoretis
Penelitian ini
diharapkan menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut dalam
menganalisis suatu ragam bahasa pada masyarakat sosial sebagai bahan
pembelajaran keterampilan berbicara di SMA. Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan teoritis tentang berbagai macam ragam
bahasa di dalam masyarakat.
2. Manfaat
Praktis
Penelitian ini
diharapkan dapat membantu guru sebagai sarana dalam mengaplikasikan pengajaran
bahasa Indonesia di sekolah. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai
masukan dalam pengembangan materi pembelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam
bidang linguistik serta dapat membantu menginspirasi guru dalam menerapkan
pembelajaran keterampilan berbicara dengan ragam bahasa sosial sebagai
alternatifnya.
Sementara bagi
siswa, penelitian ini dapat menjadi motivasi sekaligus pembelajaran berbicara
khususnya. Agar siswa dapat berbicara dengan menggunakan bahasa yang baku dan
baik sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang benar. Siswa juga dapat
membedakan manakah bahasa yang baku dan bahasa yang tidak baku yang layak
digunakan ketika berbicara di hadapan publik.
G. Definisi Operasional
1. Makna
Makna adalah
hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam
di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya
(Kridalaksana, 2001: 132). Sedangkan tipe-tipe makna adalah jenis-jenis atau
macam-macam bentuk makna.
2. Ragam
Bahasa
Ragam bahasa
merupakan variasi menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang
dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan,
dan medium pembicaraan (Kridalaksana, 2001: 184).
3. Bahasa
Vickynisasi
Bahasa Vickynisasi
merupakan bahasa yang dilontarkan oleh seorang publik figur bernama Vicky
Prasetyo, disebabkan karena penuturan bahasanya yang sangat tinggi dan sulit
dipahami oleh masyarakat awam, sehingga seorang budayawan Goenawan Mohammad
menamakan fenomena tersebut dengan bahasa
Vickynisasi (blogdetik.com).
4. Media
Massa
Media massa adalah media komunikasi
dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massa dan dapat
diakses oleh masyarakat secara massal (Bungin, 2006: 7).
5. Keterampilan
Berbicara
Keterampilan berbicara adalah keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas
kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran,
gagasan, dan perasaan. Sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai
suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak
(Tarigan, 1983: 12).
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian
terkait dengan ragam bahasa telah banyak diteliti dan dilakukan, akan tetapi
hal tersebut masih menarik untuk diadakan penelitian lebih lanjut, baik
penelitian yang bersifat melengkapi maupun yang bersifat baru. Adanya keragaman
bahasa disebabkan oleh seorang penutur baik secara individu maupun kelompok
sehingga perkembangan keragaman bahasa di media massa khususnya semakin
meningkat dan bervariasi.
Penelitian
yang terkait dengan ragam bahasa juga telah dilakukan oleh Siti Nur Hasanah
dalam skripsinya yang berjudul “Ragam
Bahasa Chatting dalam Aplikasi Mig33 Kajian Sosiolinguistik” pada tahun
2014 Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Dari
penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat karakteristik dalam
ragam bahasa chatting pada aplikasi Mig33.
Karakteristik yang paling banyak adalah penyingkatan kata tanpa perubahan bunyi
sebanyak 62 buah, penyingkatan kata dengan perubahan bunyi sebanyak 24 buah, kemudian
perubahan bunyi tanpa penyingkatan kata sebanyak 10 buah. Selain karakteristik,
ragam bahasa chatting dalam aplikasi
Mig33 juga terdapat maknanya. Makna tersebut yang paling banyak adalah bahasa
yang sering digunakan untuk mengejek pengguna lain, makna yang lain adalah perasaan
simpati untuk pengguna lain, kemudian makna selanjutnya yaitu menceritakan
tentang dirinya sendiri, dan makna yang terakhir yaitu makna bahasa cabul yang
sering diutarakan user namun dengan
bahasa tersirat.
Terdapat
persamaan dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan
oleh Siti. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti
terletak pada permasalahan ragam bahasa yang digunakan oleh masyarakat sosial.
Hanya bedanya, ragam bahasa dalam penelitian ini mengenai ragam bahasa Vickynisasi,
sedangkan ragam bahasa pada penelitian yang dilakukan oleh Siti mengenai ragam
bahasa chatting. Persamaan yang kedua
terletak pada jenis penelitiannya yaitu sama-sama menggunakan penelitian
kualitatif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti
yaitu terletak pada subjeknya, subjek penelitian ini yaitu pengguna bahasa
Vickynisasi atau tuturan Vicky Prasetyo, sedangkan subjek penelitian yang
dilakukan oleh Siti yaitu penggunaan Aplikasi Mig33. Perbedaan yang kedua
terletak pada objek penelitian. Objek penelitian ini yaitu tentang tipe-tipe
makna, sedangkan objek penelitian yang dilakukan oleh Siti yaitu karakteristik
dan makna ragam bahasa chatting.
Penelitian
relevan yang kedua telah dilakukan oleh Kelompok Harmonisasi dalam makalah
penelitiannya yang berjudul “Vickynisasi
Sebagai Gejala Komunikasi Bahasa Baru yang Berefek Negatif” di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Pahlawan
12 Sungailiat Bangka, Fakultas Ilmu Komunikasi, tahun 2013. Dalam penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa Vickynisasi berdampak negatif
terhadap kaidah tata bahasa baku EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan, karena
pengucapan kata yang dilontarkan oleh Vicky Prasetyo menyimpang dari kaidah
tata bahasa indonesia yang baku. Selain itu media massa menjadi media utama yang ikut bertanggung
jawab terhadap pembodohan bahasa dengan menyodorkan secara terus menerus bahasa
Vickynisasi, sehingga bahasa Vickynisasi
menyebarluas ke dalam masyarakat dan mudah diaplikasikan oleh siapa saja.
Terdapat
persamaan dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Kelompok Harmonisasi tersebut. Persamannya terletak pada subjek,
yaitu sama-sama mengkaji fenomena bahasa Vickynisasi yang muncul baru-baru ini.
Perbedaannya terletak pada permasalahan penelitian. Permasalahan penelitian ini
terfokus pada tipe-tipe makna yang digunakan dalam bahasa Vickynisasi,
sedangkan permasalahan penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Harmonisasi
mengacu pada dampak negatif bahasa Vickynisasi, pengaruh gaya bahasa
Vickynisasi terhadap masyarakat, serta peran media sebagai penyebar gaya bahasa
Vickynisasi.
B. Kajian Teori
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik
menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai
kaitan erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan
linguistik adalah kajian bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian tentang
bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2009: 1).
Sementara Haliday (dalam Sumarsono, 2009: 2) menyebut sosiolinguistik sebagai
linguistik institusional yaitu berkaitan dengan pertautan bahasa dengan
orang-orang yang memakai bahasa itu. Sedangkan menurut Pride dan Holmes (dalam
Sumarsono, 2009: 2) sosiolinguistik secara sederhana “the study of language as part of culture and society” yaitu kajian
bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat.
Wijana
(2006: 7) mengemukakan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang
memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai
bahasa itu di dalam masyarakat.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik
merupakan disiplin ilmu bahasa yang mengkaji antara bahasa dan masyarakat.
Sebab bahasa itu sendiri tidak akan terlepas dari aktivitas masyarakat.
2. Variasi
Bahasa
Menurut
Kridalaksana (2001: 184) Ragam bahasa merupakan variasi menurut pemakaian yang
berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan
bicara, orang yang dibicarakan, dan medium pembicaraan.
Masyarakat
tutur bukan merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang
konkret yang disebut parole menjadi
tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman
dan kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang
tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan
sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya
keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah jika bahasa tersebut
digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas
(Chaer dan Agustina, 2004: 61).
a. Variasi
bahasa dilihat dari segi tempat
Yang dimaksud di
sini adalah tempat yang dibatasi oleh air, keadaan tempat berupa gunung dan
hutan. Variasi seperti ini menghasilkan apa yang disebut dialek. Dialek adalah
seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang dimiliki ciri-ciri
umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran
lain dari bahasa yang sama.
b. Variasi
bahasa dilihat dari segi waktu
Variasi bahasa
secara diakronik disebut dialek temporal, dialek yang berlaku pada kurun waktu
tertentu.
c. Variasi
bahasa dilihat dari segi pemakai
Bahasa
dilihat dari segi pemakai atau penutur bahasa yang dirinci.
1) Glosolalia
adalah ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan.
2) Idiolek
merupakan bahasa yang sama, tetapi akan diujarkan berbeda oleh setiap pembicara
(penutur), baik yang berhubungan dengan aksen, intonasi, dan sebagainya.
3) Kelamin
dapat kita bagi atas penutur laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak tajam
perbedaannya, tetap akan dilihat perbedaan baik yang berhubungan dengan suasana
pembicara, topik pembicaraan maupun pemilihan kata yang dipergunakan.
4) Monolingual
adalah penutur bahasa yang hanya mempergunakan satu bahasa saja.
5) Rol
adalah peranan yang dimainkan seorang pembicara dalam interaksi sosial.
6) Status
sosial adalah pemakai bahasa yakni kedudukannya yang dihubungkan dengan tingkat
pendidikan dan jenis pekerjaan.
7) Umur
mempengaruhi bahasa yang dipergunakan seseorang.
d. Variasi
bahasa dilihat dari segi pemakainya. Menurut pemakaiannya, bahasa dibagi atas:
1) Diglosia
adalah suatu masyarakat mempergunakan dua atau lebih bahasa untuk berkomunikasi
antar sesamanya.
2) Kreol
merupakan akibat kontak pemakaian bahasa. Kreolisasi adalah suatu perkembangan
linguistik yang terjadi karena dua bahasa berada dalam kontak waktu yang lama.
3) Bahasa
Lisan adalah variasi yang penting dalam kehidupan sehari-hari karena kita lebih
banyak berbicara daripada menulis.
4) Nonstandard
adalah bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi dan tidak terikat
pada norma dan kaidah bahasa.
5) Pijin
adalah bahasa yang timbul akibat kontak bahasa yang berbeda.
6) Register
adalah pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan seseorang.
7) Repertories
adalah peralihan bahasa yang dipakai karena pertimbangan terhadap lawan bicara.
8) Reputations
adalah pemilihan pemakaian sesuatu bahasa karena faktor penilaian terhadap
suatu bahasa.
9) Standar
adalah bahasa yang digunakan dalam situasi yang resmi.
10) Tulis
adalah bahasa yang ditulis dan biasanya orang akan memikirkan segala sesuatu
yang akan dia tulis dengan memilih kata yang cocok sesuai dengan norma dan
kaidah bahasa.
11) Bahasa
tutur sapa ialah kata atau ungkapan yang dipakai dalam sistem tutur sapa.
12) Ken
adalah tuturan bahasa yang dimelas-melaskan untuk mendapat belas kasihan.
Biasanya digunakan oleh para pengemis.
13) Jargon
adalah pemakaian bahasa dalam setiap bidang kehidupan. Bahasa khusus yang hanya
dimengerti oleh kelompoknya sendiri.
e. Variasi
bahasa dilihat dari situasi resmi dan situasi tidak resmi. Bahasa dalam situasi
resmi biasanya bahasa standar. Dan bahasa dalam situasi tidak resmi ditandai
oleh keintiman.
f. Variasi
bahasa dilihat dari segi statusnya
1) Bahasa
ibu adalah bahasa yang dipergunakan di rumah, bahasa yang dipergunakan ibu
ketika berkomunikasi dengan anaknya sejak anak itu masih kecil.
2) Bahasa
daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat daerah tertentu untuk
berkomunikasi antar sesama mereka.
3) Bahasa
nasional adalah bahasa yang dipergunakan oleh suatu negara untuk saling
berkomunikasi antar sesama negara itu.
4) Bahasa
negara adalah bahasa yang diakui secara yuridis dipergunakan di wilayah suatu
negara untuk dipergunakan oleh warga negara tersebut untuk berkomunikasi.
5) Lingua
franca adalah bahasa yang menghubungkan antarpenutur bahasa yang berbeda-beda.
6) Bahasa
pengantar adalah bahasa yang dipakai untuk mengantarkan atau menjelaskan ilmu
pengetahuan kepada orang lain.
7) Bahasa
resmi adalah bahasa yang secara resmi diakui secara yudiris sebagai bahasa
resmi dalam suatu negara (Pateda, 2013: 53-76).
3. Variasi
Bahasa Sosial
Variasi
bahasa sosial atau dialek sosial merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang
tidak hanya dibedakan berdasarkan tempat tinggal, melainkan juga atas dasar
kondisi sosialnya (Sumarsono, 2009: 25). Perbedaan kelompok yaang bersifat
sosial bisa ditentukan oleh jenis kelamin, umur, pekerjaan. Bisa juga
ditentukan oleh status ekonomi yang membedakan kelompok kaya dan kelompok
miskin, atau status sosial seperti yang kita lihat pada masyarakat yang
mengenal kasta atau adanya kelompok terdidik dan kelompok tak terdidik.
Semua
kelompok sosial itu mempunyai potensi untuk mempunyai “bahasa” dengan ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dari kelompok lain. jika potensi itu benar-benar
menjadi kenyataan, “bahasa” kelompok ini menjadi dialek sosial. Atau
sekurang-kurangnya setiap kelompok mempunyai “variasi” bahasa sendiri.
a. Kelas
Sosial
Agar variasi
bahasa sosial itu dapat dibedakan, maka muncul kelas sosial sebagai batasan
dari variasi bahasa sosial tersebut. kelas sosial mengacu kepada golongan
masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya (Sumarsono,
2009: 43). Jadi dapat disimpulkan bahwa kelas sosial sama halnya dengan status
sosial masyarakat. Ada status sosial tinggi dan ada status sosial rendah.
Status sosial tinggi seperti para pejabat, mahasiswa, guru, dokter, dan profesi
tinggi lainnya. Sedangkan status sosial rendah seperti pedagang, petani,
nelayan, pengemis, dan sebagainya.
4. Hakikat
Makna
Makna
kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Semantik
berkedudukan sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang
makna suatu kata dalam bahasa, sedangkan linguistik merupakan ilmu yang
mengkaji bahasa lisan dan tulisan yang memiliki ciri-ciri sistematik, rasional,
empiris sebagai pemerian struktur dan aturan-aturan bahasa (Nurhayati, 2009:3).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna suatu kata dalam
bahasa dapat diketahui dengan landasan ilmu semantik.
Menurut
pendapat Djajasudarma (1993: 5) makna adalah pertautan yang ada di antara
unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Menurut Palmer (dalam Djajasudarma,
1993: 5) makna hanya menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Lyons (dalam Djajasudarma, 1993: 5) menyebutkan bahwa mengkaji makna atau
memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan
dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari katakata
lain. Kridalaksana (2008: 148) berpendapat makna (meaning, linguistic
meaning, sense) yaitu: (1) maksud pembicara, (2) pengaruh satuan bahasa
dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, (3)
hubungan, dalam arti kesepadanan atau
ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan
semua hal yang ditunjuknya, (4) cara menggunakan lambanglambang bahasa. Dari
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna merupakan arti dari
suatu kata atau maksud pembicara yang membuat kata tersebut berbeda dengan
kata-kata lain.
Menurut
de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang
diartikan, (2) yang mengartikan. Yang diartikan sebenarnya tidak lain daripada
konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan itu
adalah tidak lain daripada bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fonem-fonem
bahasa yang bersangkutan (Chaer, 2009: 29). Dengan kata lain, setiap
tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini
adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada
sesuatu referen yang merupakan luar-bahasa (ekstralingual). Jadi kesimpulan
yang dapat diambil dari ilustrasi Chaer (2009) mengenai makna, yaitu makna
adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala dalam ujaran.
a. Makna
dalam Pemakaian Sehari-hari
Aminuddin
(2008: 50) mengatakan bahwa dalam pemakaian sehari-hari, kata makna digunakan
dalam berbagai bidang maupun konteks pemakaian. Kata makna
itu sendiri disejajarkan dengan kata arti, gagasan, konsep, pernyataan, pesan,
informasi, maksud, firasat, isi dan pikiran. Berbagai pengertian itu begitu
saja disejajarkan dengan kata makna karena keberadaannya memang tidak pernah
dikenali secara cermat dan dipilahkan secara tepat (Aminuddin, 2008: 50). Dari
sekian banyak pengertian yang diberikan itu, hanya ‘arti’ yang paling dekat
pengertiannya dengan makna. Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dan arti
memiliki keterkaitan atau kesamaan. Meskipun demikian bukan berarti keduanya
sinonim mutlak. Disebut demikian karena arti adalah kata yang telah mencakup
makna dan pengertian (Kridalaksana dalam Aminuddin, 2008: 50).
b. Makna
sebagai istilah
Kata makna sebagai istilah mengacu pada
pengertian yang sangat luas. Grice (dalam Aminuddin, 2008: 52-53) mengatakan
bahwa makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepekati bersama oleh para pemakai sehingga dapat saling dimengerti. Masalah
lain yang timbul adalah, benarkah bentuk kebahasaan menjadi unsur utama dalam
mengemban makna. Pertanyaan itu timbul karena pada kata berangkat, misalnya yang diucapkan oleh seorang siswa kepada ibunya
mengacu pada pengertian “berangkat sekolah”, sementara bagi sang ayah mengacu
pada pengertian “berangkat ke kantor”. Dari contoh tersebut secara sepintas
dapat saja diambil kesimpulan bahwa unsur pemakai dan konteks sosial
situasional juga ikut menentukan makna.
5. Tipe-Tipe
Makna
Tipe
makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan
antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen
pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna
non referensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem
dapat dibedakan adanya mekna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan
ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah. Lalu
berdasarkan kriteria lain atau sudut pandanga lain dapat disebutkan adanya
makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik, dan sebagainya (Chaer,
2009: 59-60).
Berikut
klasifikasi tipe-tipe makna menurut Chaer (2009: 60-78).
a. Makna
Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna
leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem,
atau bersifat kata. Makna leksikal dapat dikatakan sebagai makna yang sesuai
dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau
makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa
binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna
tersebut tampak jelas dalam kalimat “Tikus itu mati diterkam kucing”, kata tikus pada kalimat tersebut jelas
merujuk kepada binatang tikus. Tetapi dalam kalimat “Yang menjadi tikus di
gudang kami ternyata berkepala hitam” bukanlah dalam makna leksikal karena
tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia.
Makna
gramatikal itu bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau alat
gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau nuansa-nuansa makna
gramatikal itu. Misalkan kata buku-buku
menyatakan makna jamak, karena dalam pengulangan kata menyatakan “banyak”.
Contoh lain pada kata kesedihan,
ketakutan, kegembiraan, memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu hal yang
disebut kata dasarnya. Ketakutan berarti hal menakutkan, kesedihan hal yang
menyedihkan, kegembiraan hal yang menggembirakan. Tetapi lain lagi maknanya
pada kata kemaluan, yang tidak dapat
merujuk kepada hal yang disebut bentuk dasarnya, artinya makna kata kemaluan bukanlah makna gramatikal.
b. Makna
Referensial dan Makna Nonreferensial
Perbedaan
makna referensial dan nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata
itu. Bila kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu
oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau
kata-kata itu mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna
nonreferensial. Misalkan kata meja
dan kursi termasuk kata yang bermakna
referensial karena keduanya mempunyai referen, referennya yaitu sejenis perabot
rumah tangga. Sedangkan kata karena
dan tetapi termasuk kata bermakna
nonreferensial, karena kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, juga
kata tugas lainnya, tidak mempunyai referen melainkan hanya memiliki kata
fungsi dan kata tugas.
c. Makna
Denotatif dan Makna Konotatif
Pembedaan
makna denotatif dan makna konotatif didasarkan pada ada tidak adanya nilai rasa
pada setiap kata. Sebuah kata disebut mempunyai nilai makna konotatif apabila
kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak
memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
Makna
denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif.
Karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya”.
Umpamanya
pada kata buaya, makna denotatifnya
adalah binatang buas. Tetapi makna konotatifnya mengacu pada nilai rasa yang
“negatif”. Karena buaya dilambangkan sebagai laki-laki pengobral janji atau
laki-laki yang memiliki banyak wanita.
d. Makna
Kata dan Makna Istilah
Pembedaan
adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam
penggunaannya secara umum dan secara khusus. Makna kata itu baru menjadi jelas
kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Jika terlepas dari konteks kalimat,
makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya pada kata tahanan, yang dimaksud dengan kata tahanan di sini mungkin saja ‘orang yang ditahan’, tetapi bisa juga
‘hasil menahan’.
Berbeda
dengan kata yang maknanya masih umum, maka istilah memiliki makna yang tetap
dan pasti. Misalnya kata tahanan,
sebagai istilah pada bidang hukum, kata tahanan
bermakna tetap dan pasti, yaitu orang yang ditahan karena suatu perkara, dan
kata tahanan pada bidang
kelistirikan, yaitu secara istilah bermakna daya yang menahan arus listrik.
e. Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
Pembedaan
makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan
makna sebuah kata dengan makna kata lain. makna konseptual adalah makna yang
sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang
bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Makna konseptual ini sama dengan
makna referensial, makna leksikal dan makna denotatif. Sedangkan makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya
hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa.
Makna
asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-lambangan yang digunakan oleh
suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Misalnya bunga
melati bermakna asosiasi “suci/kesucian”, srikandi bermakna asosiasi
“kepahlawanan wanita”.
Makna
asosiatif juga sama halnya dengan makna stilistika, makna afektif dan makna
kolokatif. (1) Makna stilistika yaitu berkenaan dengan gaya pemilihan kata
sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam
masyarakat, seperti rumah pondok, istana,
keraton, kediaman, tempat tinggal dan residensi; (2) makna afektif
berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik
terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan, misalnya
perbedaan kalimat “tutup mulut kalian!” dengan “coba mohon diam sebentar!”; (3)
makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata
lain yang mempunyai tempat yang sama dalam sebuah frase, seperti kata cantik
dan tampan, maknanya sama yaitu menyatakan bagus, elok atau indah dipandang,
tetapi tempatnya berbeda. Kata cantik berlaku untuk wanita, sedangkan kata
tampan berlaku untuk laki-laki.
f. Makna
Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan-satuan bahasa yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna
leksikal unsur-unsurnya maupun gramatikal satuan-satuan tersebut. Umpamanya,
menurut kaidah gramatikal kata-kata ketakutan atau kesedihan memiliki makna hal
yang disebut bentuk dasarnya. Tetapi kata kemaluan
tidak memiliki makna seperti itu. Jadi kata kemaluan tersebut masuk ke dalam
makna idiomatikal. Jadi dapat disimpulkan bahasa idiomatikal adalah makna
sebuah satuan bahasa yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna
gramatikal unsur-unsur pembentuknya.
Peribahasa
merupakan kelompok kata atau kalimat yg tetap susunannya, biasanya mengiaskan
maksud tertentu seperti bidal, ungkapan, atau perumpamaan.
g. Makna
Kias
Makna
kias yaitu makna kata atau kelompok kata yg bukan makna sebenarnya, melainkan
mengiaskan sesuatu. Bentuk kata seperti putri malam, raja siang, membanting
tulang, dan lain sebagainya mempunyai arti kiasan, atau merupakan makna kias.
h. Makna
Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Makna
lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran makna harfiah, atau
makna apa adanya. Makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh
pendengar. Dan makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh
penutur.
Misalnya
pada kalimat “Bang, tiga kali empat, berapa?”. Makna secara lokusi kalimat
tersebut adalah keinginan tahu dari si penutur tentang berapa tiga kali empat.
Namun, makna perlokusi makna yang diinginkan si penutur adalah bahwa si penutur
ingin tahu berapa biaya mencetak foto ukuran tiga kali empat sentimeter. Kalau
si pendengar, yaitu tukang afdruk foto itu memiliki makna perlokusi dari si
penanya, tentu ia akan menjawab, misalnya, “dua ribu”, tetapi kalau makna
ilokusinya sama dengan makna lokusi dari ujaran “tiga kali empat berapa”, dia
pasti menjawab “dua belas” bukan yang lain.
6. Tipe
Makna Menurut Pateda
Tipe
makna atau jenis makna menurut Pateda (2001: 96-102) terbagi menjadi 28 makna.
Tipe-tipe makna tersebut diantaranya: 1) makna afektif, 2) makna denotatif, 3)
makna deskriptif, 4) makna ekstensi, 5) makna emotif, 6) makna gereflekter, 7)
makna gramatikal, 8) makna ideasional, 9) makna intensi, 10) makna khusus, 11)
makna kogniitif, 12) makna kolokasi, 13) makna konotatif, 14) makna konseptual,
15) makna kosntruksi, 16) makna kontekstual, 17) makna leksikal, 18) makna
lokusi, 19) makna luas, 20) makna piktorial, 21) makna proposisional, 22) makna
pusat, 23) makna referensial, 24) makna sempit, 25) makna stilistika, 26) makna
tekstual, 27) makna tematis, 28) makna umum.
Klasifikasi
tipe-tipe makna Djajasudarma (1999: 7-16) tergolong menjadi 12 tipe diantaranya
yaitu: 1) makna sempit, 2) makna luas, 3) makna kognitif, 4) makna konotatif dan
emotif, 5) makna referensial, 6) makna konstruksi, 7) makna leksikal dan makna
gramatikal, 8) makna idesional, 9) makna proposisi, 10) makna pusat, 11) makna
piktorial, 12) makna idiomatik.
Dari klasifikasi
tipe-tipe makna yang telah dikemukakan di atas, dalam penelitian ini penulis
memilih klasifikasi tipe-tipe makna dari Chaer agar memudahkan penulis dalam
menganalisis makna.
7. Bahasa
Vickynisasi
a. Sejarah
Bahasa Vickynisasi
Berawal dari
tuturan unik wawancara seorang pria yang namanya kemudian melejit setelah kasus
penipuan identitas terhadap berbagai kaum wanita, pria tersebut bernama Vicky
Prasetyo. Di dalam wawancara konferensi pers tersebut, Vicky Prasetyo, entah
sengaja atau tidak, entah dimengerti atau tidak, dalam setiap tuturannya ia
banyak menggunakan istilah-istilah unik dan asing yang maknanya sulit dipahami
oleh masyarakat awam. Vicky menunjukkan kemampuan bahasa intelektualnya dengan
tujuan agar mendapat simpatik dari masyarakat. Video wawancaranya tersebut
menyebar di berbagai media massa, dan banyak mendapat tanggapan masyarakat,
baik tanggapan positif maupun tanggapan negatif.
Sampai pada
pakar budayawan Goenawan Mohamad pun merespon bahasa yang diucapkan oleh Vicky
Prasetyo yang kemudian banyak ditiru oleh masyarakat tersebut. Vicky dalam
ucapannya tersebut banyak menyisipkan sufiks pembentuk nomina -isasi pada kata-katanya, seperti
harmonisisasi, statusisasi, mentalisasi, spesialisasi, dan sebagainya. Sehingga
pakar budayawan Goenawan Mohamad menamakan fenomena bahasa tersebut dengan bahasa
“Vickynisasi” (blogdetik.com).
8. Media
Massa
a.
Pengertian Media Massa
Media massa merupakan salah satu alat dalam proses komunikasi massa, karena
media massa mampu menjangkau khalayak yang lebih luas dan relatif lebih banyak,
heterogen, anonim, pesannya bersifat abstrak dan terpencar. Media massa sendiri
dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai perangkat-perangkat yang
diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan pada situasi yang berjarak
kepada khalayak luas dalam waktu yang relatif singkat (McQuail, 2000:17).
Menurut Bungin (2006:7), media massa adalah media komunikasi dan informasi
yang melakukan penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh
masyarakat secara massal.
Lain halnya dengan Effendy yang mengatakan bahwa “Media massa pada awalnya
dikenal dengan istilah pers yang berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa
Inggris berarti press. Secara harafiah pers berarti cetak, dan secara maknawiah
berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara tercetak ‘print publications’. Dalam
perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian
sempit dan pers dalam pengertian luas. Pers dalam arti luas adalah meliputi
segala penerbitan, termasuk media massa elektronika, radio siaran dan televisi
siaran, sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada media massa cetak,
yakni surat kabar, majalah dan bulletin kantor berita” (Effendy 2002:145).
b. Jenis Media Massa
Istilah “media massa”, yang merupakan singkatan dari “media komunikasi
massa” , dipergunakan untuk menunjukkan penerapan suatu alat teknis (media)
yang menyalurkan atau merupakan wadah komunikaasi massa. Dari sudut pandang
itu, maka kita dapat mengatakan bahwa media massa itu terdiri atas:
1)
Media tercetak atau cetakan, yaitu surat kabar,
majalah, buku, pamflet, bahkan dapat diperluas dengan billboard, dan banyak
alat teknis lainnya yang dapat membawakan pesan-pesan untuk orang banyak.
2)
Media elektronika, yaitu radio siaran atau programa
dalam arti bersifat auditif; televisi siaran atau programa; film atau gambar
hidup dalam arti bersifat audiovisual, bisa didengar maupun dilihat (Pratikto,
1987:76).
9. Keterampilan
Berbicara
a.
Hakikat Pembelajaran Berbicara
Berbicara merupakan keterampilan
dalam menyampaikan pesan yang dilakukan secara lisan. Rofiuddin (1998: 13)
mengatakan bahwa berbicara merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan secara lisan.
Salah satu keterampilan pembicara
adalah keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
Sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk
mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak (Tarigan, 1983: 12).
Berbicara merupakan bentuk
perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis,
semantik dan linguistik. Pada saat berbicara seseorang memanfaatkan faktor
fisik yaitu alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Faktor psikologis
memberikan andil yang cukup besar dalam kelancaran berbicara, seperti
stabilitas emosi sangat mendukung. Berbicara tidak lepas dari faktor neurologis
yaitu jaringan saraf yang menghubungkan otak kecil dengan mulut, telinga dan
organ tubuh lain yang ikut dalam aktivitas berbicara.
Berbicara sebagai salah satu
unsur keterampilan berbahasa sering dianggap sebagai suatu kegiatan yang
berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan dari kegiatan pengajaran berbicara yang
selama ini dilakukan. Dalam praktiknya, pengajaran berbicara dilakukan dengan
menyuruh siswa berdiri di depan kelas untuk berbicara, misalnya bercerita atau
berpidato. Siswa yang lain diminta mendengarkan dan tidak mengganggu.
Akibatnya, pengajaran berbicara di sekolah-sekolah itu kurang menarik. Siswa
yang mendapat giliran merasa tertekan sebab di samping siswa itu harus
mempersiapkan bahan seringkali guru melontarkan kritik yang berlebih-lebihan. Sementara itu, siswa yang lain merasa kurang terikat pada kegiatan itu
kecuali ketika mendapatkan giliran.
Agar seluruh anggota kelas dapat
terlibat dalam kegiatan pembelajaran berbicara, hendaklah selalu diingat bahwa
hakikatnya berbicara itu berhubungan dengan kegiatan berbicara yang lain
seperti menyimak, membaca, dan menulis dan pokok pembicaraan. Dengan demikian,
sebaiknya pengajaran berbicara memperhatikan komunikasi dua arah dan
fungsional. Tugas pengajar adalah mengembangkan pengajaran berbicara agar
aktivitas kelas dinamis, hidup dan diminati oleh anak sehingga benar-benar
dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan untuk memepersiapkan diri terjun ke
masyarakat. Untuk mencapai hal itu, dalam pembelajaran berbicara harus
diperhatikan beberapa faktor, misalnya pembicara, pendengar, dan pokok
pembicaraan.
Terkait dengan hal tersebut,
Rofi’uddin (1998: 18) mengemukakan beberapa prinsip pembelajaran berbicara
sebagai berikut:
1)
Berbicara
bercirikan oleh pertemuan antara dua orang atau lebih yang melangsungkan
komunikasi secara lisan, ada pembicara dan ada penyimak;
2)
Ada banyak tipe
dalam komunikasi lisan antara pembicara dan penyimak, mulai dari orang
berbincang-bincang sampai ke pertemuan umum di lapangan;
3)
Pembelajaran
berbicara tidak dapat mencakup semua variasi atau tipe pertemuan lisan itu;
4)
Pembelajaran
berbicara harus bersifat fungsional.
Agar prinsip pembelajaran
berbicara dapat terlaksana dengan baik, hendaknya seorang guru juga
memperhatikan kriteria pemilihan bahan ajar berbicara, sebagai berikut:
a)
Bahan yang
dipilih harus memiliki nilai tambah, (1) memperkenalkan gagasan baru, (2) mengandung informasi yang belum diketahui siswa, (3) membantu siswa memahami cara berpikir orang lain, dan (4) mendorong siswa untuk membaca tanpa disuruh;
b)
Meningkatkan
kecerdasan siswa;
c)
Memperluas
kosakata yang dapat dikuasai siswa dalam jumlah yang memadai;
d)
Bahan bacaan
memberikan kemungkinan kepada guru untuk mengajukan pertanyaan, yakni (1)
membuat gambar, (2) mengolah kembali informasi dalam teks, (3) melakukan
permainan peran, percakapan;
e)
Saduran sesuai
dengan tingkat keterampilan siswa;
f)
Karangan guru
terdiri atas, (1) sesuai dengan tujuan pendidikan, (2) sesuai dengan jiwa
Pancasila, (3) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (4) sesuai dengan tema, dan
(5) tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku.
b.
Keefektifan Berbicara
1)
Ketepatan pengucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa
secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan
perahatian pendengar. Sudah tentu pola ucapan dan artikulasi yang digunakan
tidak selalu sama. Setiap orang mempunyai gaya tersendiri dan gaya bahasa yang
dipakai berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan, perasaan, dan sasaran.
Akan tetapi kalau perbedaan atau perubahan itu terlalu mencolok, dan
menyimpang, maka keefektifan komunikasi akan terganggu.
Setiap penutur tentu sangat dipengaruhi oleh bahasa ibunya. Misalnya, pengucapan kan untuk akhiran -kan
yang kurang tepat, memasukkan. Memang kita belum memiliki lafal
baku, namun sebaiknya ucapan kita jangan terlalu diwarnai oleh bahasa daerah,
sehingga dapat mengalihkan perhatian pendengar. Demikian juga halnya dengan
pengucapan tiap suku kata. Tidak jarang kita dengar orang mengucapkan kata-kata
yang tidak jelas suku katanya.
Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang tidak tepat atau
cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, atau kurang menarik
sehingga dapat mengalihkan perhatian pendengar, mengganggu komunikasi, atau
pemakainya dianggap aneh (Maidar dan Mukti, 1991).
2)
Ketepatan intonasi
Kesesuaian intonasi merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara dan
merupakan faktor penentu. Walaupun
masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan intonasi yang sesuai
dengan masalahnya menjadi menarik. Sebaliknya jika penyampaiannya datar saja,
hampir dapat dipastikan menimbulkan kejemuan dan keefektifan berbicara
berkurang.
Demikian juga halnya dalam pemberian intonasi pada
kata atau suku kata. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku kata terakhir
atau suku kata kedua dari belakang, kemudian ditempatkan pada suku kata
pertama. Misalnya kata peyanggah, pemberani, kesempatan,
diberi tekanan pada pe-, pem-, ke-, tentu kedengarannya janggal.
3)
Pilihan
kata (diksi)
Pilihan kata (diksi) hendaknya tepat, jelas, dan
bervariasi. Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi
sasaran. Pendengar akan lebih terangsang dan lebih paham, kalau kata-kata yang
digunakan sudah dikenal oleh pendengar. Misalnya, kata-kata populer tentu akan
lebih efektif daripada kata-kata yang muluk-muluk dan kata-kata yang berasal
dari bahasa asing. Kata-kata yang belum dikenal memang membangkitkan rasa ingin
tahu, namun menghambat kelancaran komunikasi. Pilihan kata itu tentu harus
disesuaikan dengan pokok pembicaraan dan dengan siapa kita berbicara
(pendengar).
4)
Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar berbicara memudahkan
pendengar menangkap isi pembicaraannya. Seringkali kita dengar pembicara
berbicara terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang terputus itu
diselipkan bunyi-bunyi tertentu yang sangat mengganggu penangkapan pendengar,
misalnya menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan sebagainya. Sebaliknya, pembicara
yang terlalu cepat berbicara juga menyulitkan pendengar menangkap pokok
pembicarannya.
c.
Evaluasi
Pembelajaran Berbicara
Bicara merupakan suatu kemampuan kompleks yang melibatkan beberapa faktor,
yaitu kesiapan belajar, kesiapan berpikir, kesiapan mempraktikkan, motivasi, dan bimbingan; Apabila salah satu
faktor tidak dapat dikuasai dengan baik, akan terjadi kelambatan dan mutu
bicara akan menurun. Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai kelima unsur
itu, semakin baik pula penampilan dan penguasaan berbicaranya. Sebaliknya,
semakin rendah kemampuan seseorang untuk menguasai kelima unsur itu, semakin
rendah pula penguasaan berbicaranya. Akan tetapi, sangat sulit bagi kita untuk
menilai faktor-faktor itu karena sulit diukur.
Berdasarkan fakta bahwa kegiatan berbicara cenderung dapat diamati dalam
konteks nyata saat siswa berbicara, maka dalam kegiatan berbicara dapat dikembangkan
penilaian kinerja yang bertujuan menguji kemampuan siswa dalam mendemontrasikan
pengetahuan dan keterampilannya (apa yang mereka ketahui dan dapat
mereka lakukan) pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu.
Penilaian kinerja mempunyai dua karakteristik dasar yaitu (1) siswa diminta
untuk mendemonstrasikan kemampuannya dalam mengkreasikan suatu produk atau
terlibat dalam suatu aktivitas (perbuatan), misalnya berpidato, (2) produk dari
penilaian kinerja lebih penting daripada kinerja (performance)-nya.
Penilaian mengenai apakah yang akan dinilai itu produk atau kinerjanya akan
sangat bergantung pada karakteristik domain yang diukur. Dalam bidang sastra,
misalnya acting dan menari, kinerja dan produknya sama penting.
Penilaian mengenai kemampuan kinerja dapat juga dilakukan dengan
menggunakan skala penilaian (rating scale). Walaupun cara ini serupa
dengan checklist, tapi skala penilaian memungkinkan penilai menilai
kemampuan peserta didik secara kontinum tidak lagi dengan model dikotomi.
Dengan kata lain, kedua cara ini sama-sama berdasarkan pada beberapa kumpulan
keterampilan atau kemampuan kerja yang hendak diukur: checklist hanya
memberikan dua katagori penilaian, sedangkan skala penilaian memberikan lebih
dari dua kategori penilaian. Paling tidak ada tiga jenis skala penilaian,
yaitu: (1) numerical rating scale, (2) graphic rating scale, dan
(3) descriptive rating scale. Selain itu, alat penilaian
dalam berbicara dapat berwujud penilaian yang terdiri atas komponen-komponen
tekanan, tata bahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian ini adalah deskripsi masing-masing komponen
(Nurgiyantoro, 2005: 156).
1)
Tekanan
a)
Ucapan
sering tak dapat dipahami.
b)
Sering
terjadi kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan pemahaman, menghendaki
untuk selalu diulang.
c)
Pengaruh
ucapan asing (daerah) yang mengganggu dan menimbulkan salah ucap yang dapat
menyebabkan kesalahpahaman.
d)
Pengaruh
ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan yang tidak menyebabkan
kesalahpahaman.
e)
Tidak
ada salah ucap yang menolak, mendekati ucapan standar
f)
Ucapan sudah standar.
2)
Tata bahasa
a)
Penggunaan tata bahasa hampir selalu tidak
tepat.
b)
Ada kesalahan dalam pemgunaan pola-pola
pokok secara tetap yang selalu mengganggu komunikasi.
c)
Sering terjadi kesalahan dalam pola
tertentu karena kurang cermat yang dapat mengganggu komunikasi.
d)
Kadang-kadang terjadi kesalahan dalam
penggunaan pola tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi.
e)
Sedikit
terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola.
f)
Tidak
lebih dari dua kesalahan selama berlangsungnya kegiatan wawancara.
3)
Kosakata
a)
Penggunaan
kosakata tidak tepat dalam percakapan yang paling sederhana sekalipun.
b)
Penguasaan
kosakata sangat terbatas pada keperluan dasar personal (waktu, makanan,
transportasi, keluar).
c)
Pemilihan
kosakata sering tidak tepart dan keterbatasan penggunaannya menghambat
kelancaran komunikasi dalam masalah sosial dan profesional.
d)
Penggnaan
kosakata teknis tepat dalam pembicaraan tentang masalah tertentu, tetapui
penggunaan kosakata umum terasa berlebihan.
e)
Penggunaan
kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum tepat digunakan sesuai
dengan situasi sosial.
f)
Penggunaan
kosakata teknis dan umum terkesan luas dan tepat sekali.
4)
Kelancaran
a)
Pembicaraan
selalu berhenti dan terputus-putus.
b)
Pembicaraan
sangat lambat dan tidak ajeg kecuali untuk kalimat pendek dan rutin.
c)
Pembicaraan
sering nampak ragu, kalimat tidak lengkap.
d)
Pembicaraan
kadang-kadang masih ragu, pengelompokan kata kadang-kadang tidak tepat.
e)
Pembicaraan
lancar dan halus, tetapi sekali-kali masih kurang ajeg.
f)
Pembicaraan
dalam segala hal lancar dan halus.
5)
Pemahaman
a)
Memahami sedikit isi percakapan yang
paling sederhana.
b)
Memahami
dengan lambat percakapan sederhana, perlu penjelasan dan pengulangan.
c)
Memahami
percakapan sederhana dengan baik, dalam hal tertentu masih perlu penjelasan dan
pengulangan.
d)
Memahami
percakapan normal dengan lebih baik, kadang-kadang mesih perlu pengulangan dan
penjelasan.
e)
Memahami
segala sesuatu dalam percakapan normal kecuali yang bersifat koloqial.
f)
Memahami
segala sesuatu dalam percakapan normal dan koloqial.
C. Kerangka Berpikir
Bahasa
merupakan alat komunikasi manusia yang sangat penting bagi manusia itu sendiri.
Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berkomunikasi atau berinteraksi satu dengan
yang lain. Hanya dengan bahasa manusia dapat menemukan dan mengkomunikasikan
ilmunya. Bahasa juga sangat dekat dan berkaitan erat dengan suatu makna. Karena
dengan makna kita dapat mengerti apa maksud tuturan dari seorang penutur.
Tetapi terkadang penutur sering menggunakan bahasa yang sulit dimengerti
maknanya.
Pengguna
bahasa yang baik akan lebih memudahkan kedua belah pihak saling memahami makna
pesan yang disampaikan sehingga memungkinkan timbulnya komunikasi timbal balik.
Proses komunikasi itu memungkinkan setiap individu untuk terus menjalin
hubungan dengan individu lain. Pertemuan antar beberapa individu yang mempunyai
latar belakang yang berbeda akan menyebabkan terjadinya ragam bahasa.
Berikut
adalah bagan ilustrasi dari kerangka pemikiran dalam penelitian ini:
BAHASA
|
MAKNA
|
Ragam Bahasa Sosial
|
Tipe-Tipe Makna
|
VICKYNISASI
|
Media Massa
|
Keterampilan Berbicara
|
Dari bagan di
atas dapat disimpulkan bahwa di sini penulis akan meneliti sebuah bahasa,
sementara bahasa memiliki kaitan erat dengan sebuah makna. Tanpa makna, bahasa
seseorang akan sulit untuk dimengerti. Lantas, yang menjadi fokus penelitian
ini adalah ragam bahasa Vickynisasi. Di dalam ragam bahasa Vickynisasi
tersebut, penulis menemui berbagai kesulitan makna yang terkandung dalam setiap
tuturan Vicky Prasetyo tersebut. Jadi, karena bahasa membutuhkan makna yang
lugas, maka penulis merealisasikan penelitian tentang ragam bahasa Vickynisasi
di media massa yang akan dianalisis dengan tipe-tipe makna sebuah teori
pengantar semantik. Teori yang penulis ambil sebagai alat untuk menganalisis
yaitu teori klasifikasi makna dari Chaer (2009: 60-78), sebagai aplikasi
pembelajaran keterampilan berbicara di SMA.
BAB III
METODE PENELITIAN
1.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini adalah penelitian lapangan, yang artinya sebagai penelitian yang datanya
diperoleh dengan cara mengumpulkannya dari pengalaman empiris di lapangan atau
kancah penelitian dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
dilaksanakan sebagai upaya memahami situasi tertentu dengan bentuk penelitian
studi kasus yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan
mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga, atau gejala tertentu (Arikunto,
2006: 17).
Penelitian
kualitatif merupakan bagian dari penelitian deskriptif, sehingga selanjutnya
disebut sebagai penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud melakukan penyelidikan dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan objek/subjek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Selain
itu, penelitian ini menekankan pada proses daripada hasil (Moeleong, 2006: 33).
2.
Subjek
dan Objek Penelitian
a. Subjek
Penelitian
Subjek
penelitian diartikan sebagai komunitas yang dijadikan sasaran penelitian
(Sudaryanto, 2003:18). Subjek dalam penelitian ini adalah pengguna bahasa
“Vickynisasi” di jejaring sosial dan tuturan Vicky Prasetyo di Media Massa.
b. Objek
Penelitian
Objek penelitian
adalah sejumlah individu, benda, atau hal yang langsung dikenai perlakuan dalam
penelitian (Sudaryanto, 2003: 18). Dalam penelitian ini, objek penelitiannya yaitu
tipe-tipe makna.
3.
Metode
dan Teknik Pengumpulan Data
a. Metode
Pengumpulan Data
1) Metode
Simak
Metode
simak yaitu salah satu cara yang digunakan untuk memperoleh data yang dilakukan
dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2013: 92). Istilah menyimak di sini
tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi jugaa
penggunaan bahasa secara tertulis.
b.
Teknik Pengumpulan Data
1)
Teknik Sadap
Teknik
sadap merupakan teknik dasar dari metode menyimak, karena pada hakikatnya
penyimakan diwujudkan dengan penyadapan (Mahsun, 2013: 92). Dalam arti,
peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan
bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan.
Sudaryanto
(dalam Muhammad, 2012: 37) menyatakan bahwa untuk menyimak objek penelitian
dilakukan dengan menyadap yaitu dengan cara yang mula-mula dilakukan untuk
memperoleh data yang dimaksud. Kegiatan menyadap merupakan kegiatan permulaan
untuk menyediakan data. Untuk itu
diperlukan langkah atau aktivitas berikutnya dengan teknik tertentu.
2) Teknik
simak bebas cakap
Untuk
menjalankan metode simak pada teknik ini, peneliti di sini hanya menjadi
pengamat atau penyimak. Peneliti tidak ikut angkat bicara sama sekali dengan
mitranya (Muhammad, 2012: 39). Teknik ini dilakukan bila data penelitiannya
adalah data tertulis atau dokumen, baik film, pemandangan, pertandingan, dan
lain-lain.
3) Teknik
Catat
Teknik
catat atau pencatatan dapat dilakukan pada kartu data yang telah disediakan
atau akan disediakan. Setelah pencatatan dilakukan, peneliti melakukan
klasifikasi atau pengelompokan (Sudayanto dalam Muhammad, 2012: 42). Penggunaan
teknik catat ini sangat fleksibel. Bila teknik sadap sebagai teknik dasar dan
teknik simak bebas cakap sebagai teknik lanjutan maka setelah itu peneliti dapat
langsung mencatat data atau transkrip data yang diperoleh.
4.
Instrumen
Penelitian
Instrumen
adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data
agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat,
lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah untuk diolah (Arikunto, 2006:
203). Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian
adalah penelitian itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga
harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian
yang selanjutnya terjun ke lapangan (Sugiyono, 2010: 305).
Instrumen
dalam penelitian ini adalah video, jejaring sosial Facebook, dan kartu data. Video merupakan gambar hidup atau gambar
berjalan. Pada video penelitian ini merupakan video wawancara atau percakapan
Vicky Prasetyo yang melontarkan bahasa intelektual “Vikcynisasi” di hadapan
khalayak. Video tersebut berguna untuk meneliti, menyimak, kemudian mencatat
setiap penggunaan bahasa yang dilontarkan oleh objek penelitian. Sedangakan
jejaring sosial Facebook berguna
untuk memperoleh data bahasa “Vickynisasi” yang melanda masyarakat, teruatama
pada remaja di sosial media. Terakhir kartu data berguna untuk mencatat dan
mengklasifikasikan hasil observasi semua data yang diperoleh peneliti yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa “Vickynisasi” di media massa.
5.
Uji
Keabsahan Data
Keabsahan data dimaksud untuk memperoleh tingkat kepercayaan yang berkaitan
dengan seberapa jauh kebenaran hasil penelitian, mengungkapkan dan memperjelas
data dengan fakta-fakta aktual di lapangan.
Dalam penelitian kualitatif keabsahan data lebih bersifat sejalan seiring
dengan proses penelitian itu berlangsung. Keabsahan data kualitatif harus
dilakukan sejak awal pengambilan data, yaitu sejak melakukan reduksi data,
display data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Uji keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu
intra-rater dan inter-rater. Intra-rater adalah teknik pengecekan keabsahan
data dengan cara mengamati data secara lebih intensif, yaitu dengan
berulang-ulang mengamati data, sedangkan inter-rater adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang dilakukan dengan pengecekan oleh observer lain. Dalam hal
ini pengecekan oleh penutur asli selaku informan. Dalam penelitian ini
pengecekan data dilakukan secara lisan dari penutur asli pencetus bahasa
Vickynisasi, yakni Vicky Prasetyo di media massa.
6.
Teknik
Analisis Data
Penganalisisan
data dilakukan dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari menyimak suatu
objek yang diteliti. Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini,
maka teknik analisa data yang peneliti gunakan adalah analisis deskriptif
kualitatif atau analisis isi. Secara operasional teknik analisis data dilakukan
dengan beberapa tahapan di antaranya (Moeloeng, 2006: 51).
a. Reduksi
data, yaitu data yang diperoleh di lapangan diidentifikasikan, dipilah-pilah,
dikodingkan sesuai fokus penelitian.
b. Kategorisasi,
yaitu memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan
dan setiap kategori diberi label.
c. Sintesisasi,
yaitu mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya.
Menyusun analisis data akhir sekaligus menjawab
pertanyaan penelitian. Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan data yang telah
dikumpulkan pada semua tahap sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1986. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:
Angkasa.
Aminuddin. 2008. Semantik
Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Blogdetik.com. 2014. Fenomena Bahasa Vickynisasi.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
___________. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta
___________, dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Djajasudarma,
T. Fatimah. 1993. Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: ERESCO.
_____________________.
1993. Semantik 2. Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: ERESCO.
Effendy, Onong Uchjana. 2002. Ilmu
Komunikasi Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa diunduh
pada 20 Mei 2015.
http://vhytakitty.blogspot.com/2013/11/vickynisasi-sebagai-gejala-komunikasi.html
diunduh pada
20 Mei 2015.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
___________________. 2008. Kamus
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2013. Metode
Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Depok: Raja
Grafindo Persada.
Maidar, Arsjad, G. dan Mukti.
1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
McQuall, Denis. 2000. Teori Komunikasi Massa.
Jakarta: Erlangga.
Moeleong, Lexi J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Muhammad. 2012. Metode
dan Teknik Analisis Data Linguistik. Yogyakarta: Liebe Book Press.
Nurhayati, Endang. 2009. Sosiolinguistik
Kajan Kode Tutur dalam Wayang Kulit. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pratikto, Riyono. 1987. Berbagai Ilmu Komunikasi.
Bandung: Remaja Karya CV.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Rofi’uddin, Ahmad & Zuhdi,
Darmiyati. 1998. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
di Kelas Tinggi. Depdikbud.
Sudaryanto. 2003. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Sumarsono, 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Strategi
Pengajaran dan Pembelajaran Berbahasa. Bandung
Wijana,
I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. Sosiolingustik: Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar