Rabu, 04 November 2015

Feature Biografi: Mamaku Pahlawanku




Feature Biografi: By Maya Irawan
 “MAMAKU PAHLAWANKU”
Oleh: Maya Marliana

Ai Nuraini, begitulah nama lengkap perempuan yang kuanggap sebagai pahlawan di hidupku. Beliau lahir di Karawang pada tanggal 6 Desember 1969. Menikah dengan seorang laki-laki yang penuh dengan tanggung jawab, ‘dia’ yang kini adalah kepala keluarga sekaligus ‘Ayah’ yang sangat kuhargai.
Perempuan baya yang biasa kusapa Mama di dalam rumah yang penuh dengan kedamaian itu kini telah menjadi yatim piatu. Kakek dan Nenek, yang merupakan orangtua Mama telah kembali pada sang maha pemilik hidup. Sungguh bangga aku ketika melihat airmata yang menyudut di kelopak indahnya terbias rasa keikhlasan setelah ditinggal oleh kedua orangtua tercinta. Mama adalah sosok wanita yang tegar dalam menghadapi segala masalah. Tidak pernah lelah untuk mendidik dan merawat anak-anaknya. Dia bahkan tidak peduli seberapa lelah dan seberapa banyak keringat yang ia kucurkan hanya demi untuk membahagiakan anak-anaknya. Teringat ketika ia berjuang keras untuk menyekolahkan aku di tingkat tinggi dengan penuh pengorbanan, aku rasakan pengorbanan yang begitu luar biasa dari sosok Mama selama ini. Terkadang aku khilaf dan tidak sadar menyakiti perasaannya, namun Mama hanya sabar dan selalu memaafkan kesalahan anaknya. Begitulah Mama di mataku.
Mama bukan tipe wanita yang suka bermanja-manja pada suami, dan bukan tipe yang selalu bergantung pada Ayahku. Bukan pula tipe wanita yang hanya bersantai-santai di rumah. Tapi Mama adalah wanita yang pekerja keras, yang selalu menyempatkan waktu dengan kesibukkan apapun, tentunya kesibukkan untuk membantu Ayah mencari nafkah dan rezeki untuk menghidupi anak-anaknya. Bahkan beliau pun mempunyai usaha sendiri, yakni tukang jual bangunan. Usaha itu didirikannya atas dukungan dan bantuan Ayah yang juga sebagai pedagang besi. Meski sesibuk apapun, Mama juga tidak pernah lupa akan kewajibannya sebagai Ibu Rumah Tangga; Memasak untuk suami dan anak-anaknya, membereskan rumah, mencuci baju, dan pekerjaan lain yang tentunya tidak pernah dilalaikannya.
Aku tahu di luar sana banyak yang iri atas keberhasilan Mama. Bahkan tanpa disangka-sangka saudara terdekat pun ternyata bisa menjadi racun. Mungkin begitulah yang Mama rasakan. Tetapi Mama hanya bisa tegar, dan hanya bisa meneteskan airmata ketika orang-orang yang disayanginya justru melemparkan batu dari belakang. Hatiku teriris pedih setelah tahu masalah apa yang dihadapi Mama saat itu, sampai airmatanya menetes deras membasahi bajunya. Disaat itu yang kulakukan hanyalah berdoa dan ikut menangis. Aku berdoa agar Mama selalu diberi ketabahan menghadapi musuh-musuh dan para penghianat itu, dan aku berdoa agar orang-orang yang telah membuat Mama menangis segera dibukakan pintu hatinya.
Setiap malam selalu kudapatkan Mama tengah berdoa dalam shalat tahajudnya, bahkan aku sempat melihat airmata menetes di pipinya. Entahlah, aku tak tahu pasti apa yang tengah didoakan Mama, yang pasti dia tengah mendoakan anak-anaknya agar kelak menjadi anak yang berguna, dan bisa membahagiakan orangtuanya. Mama pula tidak pernah berhenti untuk selalu mengingatkanku tentang kewajibanku sebagai seorang muslim; sholat lima waktu, puasa senin kamis, sholat sunnah, itu selalu diingatkannya ketika aku jauh darinya. Dia selalu menyemangatiku di balik kata-katanya “Nak, raih targetmu, untuk bisa lulus tepat waktu.” Aku selalu ingat kata-kata itu. Mungkin itu adalah harapan Mama kepadaku, agar aku bisa lulus dengan sukses dan meraih gelar sarjana.
Dari pencapaian Mama yang berhasil mendirikan sebuah kios matrial yang sebagai mata pencahariannya itu ia bangun bersama Bapak yang juga turut membantu. Pada awalnya ia sedikit kebingungan memilih lokasi strategis yang cocok untuk kiosnya itu. Akhirnya ia temukan di pinggir jalan ada kios kosong dan Mama pun membeli kios tersebut untuk usaha dagangnya. Setelah beberapa bulan menjalankan usahanya, Mama sedikit kecewa karena tak begitu banyak pelanggan yang setiap hari datang mengunjungi kiosnya. Akhirnya Mama pindah tempat di tempat kerjanya Bapak. Yaitu di rengasbandung Cikarang. Untuk bisa mendirikan kios di sana, Mama harus rela mengeluarkan uang lagi untuk pembangunan kios dan kontrakan. Kios itupun di urus oleh Bapak. Dan Mama kembali bertugas di rumah sebagai ibu rumah tangga. Bahkan dulu Bapak yang mengontrak di sana sempat diusir karena tidak maampu membayar kontrakan selama sebulan lebih.
Terkadang Mama sempat mengeluh ketika usahanya mulai menurun, dan ketika dia sudah mulai kelelahan. Namun, perlahan demi perlahan ia mulai bangkit lagi, dia berjuang lagi dan terus berusaha sampai puncak kebahagiaan itu tiba. Aku sendiri tahu bahwa yang diinginkan Mama hanyalah satu, yaitu bisa melihat anak-anaknya kelak berbahagia, dengan sebongkah harapan yang dapat dicapainya. Aku selalu melihat doa-doa yang terpancar ketika melihat wajah Mama yang lusuh. Doa-doa itu ia berikan untuk anak-anaknya. Dan ketika aku melihatmu, Mama, hanya doa dalam hati yang dapat kupersembahkan. Tapi doa ini tulus untuk Mama. Seperti Mama yang tidak pernah lupa untuk mendoakan aku. Di mana ada Mama, aku yakin, di situ pula tersimpan doa-doa sederhana yang akan indah pada waktunya.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar