Feature
Biografi: By Maya Irawan
|
“MAMAKU PAHLAWANKU”
Oleh: Maya Marliana
Ai
Nuraini, begitulah nama lengkap perempuan yang kuanggap
sebagai pahlawan di hidupku. Beliau lahir di Karawang pada tanggal 6 Desember
1969. Menikah dengan seorang laki-laki yang penuh dengan tanggung jawab, ‘dia’
yang kini adalah kepala keluarga sekaligus ‘Ayah’ yang sangat kuhargai.
Perempuan baya yang
biasa kusapa Mama di dalam rumah yang penuh dengan kedamaian itu kini telah
menjadi yatim piatu. Kakek dan Nenek, yang merupakan orangtua Mama telah
kembali pada sang maha pemilik hidup. Sungguh bangga aku ketika melihat airmata
yang menyudut di kelopak indahnya terbias rasa keikhlasan setelah ditinggal oleh
kedua orangtua tercinta. Mama adalah sosok wanita yang tegar dalam menghadapi
segala masalah. Tidak pernah lelah untuk mendidik dan merawat anak-anaknya. Dia
bahkan tidak peduli seberapa lelah dan seberapa banyak keringat yang ia
kucurkan hanya demi untuk membahagiakan anak-anaknya. Teringat ketika ia
berjuang keras untuk menyekolahkan aku di tingkat tinggi dengan penuh
pengorbanan, aku rasakan pengorbanan yang begitu luar biasa dari sosok Mama
selama ini. Terkadang aku khilaf dan tidak sadar menyakiti perasaannya, namun
Mama hanya sabar dan selalu memaafkan kesalahan anaknya. Begitulah Mama di
mataku.
Mama bukan tipe wanita
yang suka bermanja-manja pada suami, dan bukan tipe yang selalu bergantung pada
Ayahku. Bukan pula tipe wanita yang hanya bersantai-santai di rumah. Tapi Mama
adalah wanita yang pekerja keras, yang selalu menyempatkan waktu dengan
kesibukkan apapun, tentunya kesibukkan untuk membantu Ayah mencari nafkah dan
rezeki untuk menghidupi anak-anaknya. Bahkan beliau pun mempunyai usaha
sendiri, yakni tukang jual bangunan. Usaha itu didirikannya atas dukungan dan
bantuan Ayah yang juga sebagai pedagang besi. Meski sesibuk apapun, Mama juga
tidak pernah lupa akan kewajibannya sebagai Ibu Rumah Tangga; Memasak untuk
suami dan anak-anaknya, membereskan rumah, mencuci baju, dan pekerjaan lain
yang tentunya tidak pernah dilalaikannya.
Aku tahu di luar sana
banyak yang iri atas keberhasilan Mama. Bahkan tanpa disangka-sangka saudara
terdekat pun ternyata bisa menjadi racun. Mungkin begitulah yang Mama rasakan.
Tetapi Mama hanya bisa tegar, dan hanya bisa meneteskan airmata ketika
orang-orang yang disayanginya justru melemparkan batu dari belakang. Hatiku
teriris pedih setelah tahu masalah apa yang dihadapi Mama saat itu, sampai
airmatanya menetes deras membasahi bajunya. Disaat itu yang kulakukan hanyalah
berdoa dan ikut menangis. Aku berdoa agar Mama selalu diberi ketabahan
menghadapi musuh-musuh dan para penghianat itu, dan aku berdoa agar orang-orang
yang telah membuat Mama menangis segera dibukakan pintu hatinya.
Setiap malam selalu
kudapatkan Mama tengah berdoa dalam shalat tahajudnya, bahkan aku sempat
melihat airmata menetes di pipinya. Entahlah, aku tak tahu pasti apa yang
tengah didoakan Mama, yang pasti dia tengah mendoakan anak-anaknya agar kelak
menjadi anak yang berguna, dan bisa membahagiakan orangtuanya. Mama pula tidak
pernah berhenti untuk selalu mengingatkanku tentang kewajibanku sebagai seorang
muslim; sholat lima waktu, puasa senin kamis, sholat sunnah, itu selalu
diingatkannya ketika aku jauh darinya. Dia selalu menyemangatiku di balik
kata-katanya “Nak, raih targetmu, untuk bisa lulus tepat waktu.” Aku selalu
ingat kata-kata itu. Mungkin itu adalah harapan Mama kepadaku, agar aku bisa
lulus dengan sukses dan meraih gelar sarjana.
Dari pencapaian Mama
yang berhasil mendirikan sebuah kios matrial yang sebagai mata pencahariannya
itu ia bangun bersama Bapak yang juga turut membantu. Pada awalnya ia sedikit
kebingungan memilih lokasi strategis yang cocok untuk kiosnya itu. Akhirnya ia
temukan di pinggir jalan ada kios kosong dan Mama pun membeli kios tersebut
untuk usaha dagangnya. Setelah beberapa bulan menjalankan usahanya, Mama
sedikit kecewa karena tak begitu banyak pelanggan yang setiap hari datang
mengunjungi kiosnya. Akhirnya Mama pindah tempat di tempat kerjanya Bapak.
Yaitu di rengasbandung Cikarang. Untuk bisa mendirikan kios di sana, Mama harus
rela mengeluarkan uang lagi untuk pembangunan kios dan kontrakan. Kios itupun
di urus oleh Bapak. Dan Mama kembali bertugas di rumah sebagai ibu rumah
tangga. Bahkan dulu Bapak yang mengontrak di sana sempat diusir karena tidak
maampu membayar kontrakan selama sebulan lebih.
Terkadang Mama sempat
mengeluh ketika usahanya mulai menurun, dan ketika dia sudah mulai kelelahan.
Namun, perlahan demi perlahan ia mulai bangkit lagi, dia berjuang lagi dan
terus berusaha sampai puncak kebahagiaan itu tiba. Aku sendiri tahu bahwa yang
diinginkan Mama hanyalah satu, yaitu bisa melihat anak-anaknya kelak
berbahagia, dengan sebongkah harapan yang dapat dicapainya. Aku selalu melihat
doa-doa yang terpancar ketika melihat wajah Mama yang lusuh. Doa-doa itu ia
berikan untuk anak-anaknya. Dan ketika aku melihatmu, Mama, hanya doa dalam
hati yang dapat kupersembahkan. Tapi doa ini tulus untuk Mama. Seperti Mama
yang tidak pernah lupa untuk mendoakan aku. Di mana ada Mama, aku yakin, di
situ pula tersimpan doa-doa sederhana yang akan indah pada waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar