Rabu, 04 November 2015

Kajian Prosa Fiksi dan Drama: Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dengan Pendekatan Mimetik



Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari dengan Pendekatan Mimetik
logo-uad-black-white-hitam-putih.png
Disusun Oleh :
1.      Dodit Setiawan                       (12003059)
2.      Maya Marliana                        (12003060)
3.      Edo Frandika                          (12003061)
4.      Utami Rakhmawati                 (12003062)
5.      Nastiti Wulandari                    (12003063)
6.      Anjar Wijayanto                      (12003064)
7.      Arya Gunawan                        (12003066)
KELAS B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2014


A.    Latar Belakang
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, dan ide dalam suatu bentuk gambaran kehidupan. Karya sastra dapat memberikan kesadaran kepada pembaca tentang kehidupan walaupun dilukiskan di dalam bentuk fiksi. Salah satu contoh dalam karya fiksi adalah novel. Menurut KBBI novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dalam karya sastra terdapat berbagai macam pendekatan. Menurut M.H Abrams pendekatan karya sastra ada empat, yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan objektif, pendekatan mimetik, dan pendekatan pragmatik. Dalam analisis novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari penulis menggunakan pendekatan mimetik sebagai bentuk penerapan teori mimetik dalam karya sastra. Pendekatan mimetik merupakan pendekatan karya sastra yang selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari penulis ingin menganalisis dengan pendekatan ini karena novel tersebut menceritakan seorang Ronggeng dalam kehidupan nyata Dukuh Paruk.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Masalah apa saja yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2.      Apa fakta cerita yang terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan realitas sehari-hari?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui masalah apa saja yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2.      Untuk mengetahui fakta cerita, yang terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan realitas sehari-hari.

D.    Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui masalah apa saja yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2.      Untuk mengetahui fakta cerita, yang terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan realitas sehari-hari.

E.     Kajian Teori
Jika kita berbicara tentang teori Mimetik, kita tidak dapat terlepas dari pengaruh dua orang filsuf besar dari Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato menganggap bahwa karya seni berada di bawah kenyataan karena hanya berupa tiruan dari tiruan yang ada dipikiran manusia yang meniru kenyataan. Sementara, Aristoteles sebagai murid dari Plato berbeda pendapat. Aristoteles menganggap karya seni adalah berada di atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk menyucikan jiwa manusia.
Menurut Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011: 70).
Pandangan Plato mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,  misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens, 1979: 13).
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul  Republic bagian kesepuluh. Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh pancaindra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
Menurut Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ide  (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. “Bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh  dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18).
Konsep mimetik zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic. Aliran romantic justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia (Luxemberg, 1989: 18).
F.     Analisis Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menurut pendekatan Mimetik
Analisis pendekatan mimetik pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari disusun berdasarkan sistematika pembahasan, yaitu: 1) identifikasi aspek sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, 2) analisis aspek sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, 3) membuktikan aspek sosial sebagai bentuk peniruan dari kehidupan nyata dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan 4) menganalisis aspek sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang dihubungkan dengan dunia nyata.
Masalah yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dapat ditemukan beberapa masalah-masalah sosial. Novel ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang ronggeng yang berasal dari Dukuh Paruk. Adapun masalah-masalah sosial tersebut antara lain : 1) tokoh Srintil dan latar belakang keluarganya, 2) ritual Srintil sebagai syarat menjadi ronggeng, dan 3) keberadaan Srintil menjadi ronggeng memberi pengaruh bagi masyarakat Dukuh Paruk.

1.      Tokoh Srintil dan latar belakang keluarganya
                        Tokoh utama Srintil, adalah seorang gadis yang merupakan penduduk di desa terpencil bernama Dukuh Paruk. Srintil adalah gadis kecil yang dipercaya oleh kakeknya, bahwa suatu saat nanti, Srintil akan menjadi penerus ronggeng di Dukuh Paruk, karena indang ronggeng telah bersemayam di tubuh Srintil.
Ayah dan Ibu Srintil meninggal dunia karena memakan tempe bongkrek buatannya, yang dituduh beracun oleh para warga. Semenjak itulah, Srintil diasuh oleh kakek dan neneknya.
                        Srintil dan kakek neneknya adalah orang yang tidak punya. Mereka hanya tinggal di gubuk kecil yang sudah tidak layak untuk ditempati lagi. Karena itulah, kakek Srintil berharap Srintil akan menjadi ronggeng terkenal di Dukuh Paruk. Sebab, menjadi seorang ronggeng, berarti menjanjikan sebuah kekayaan yang berlipat ganda. Itulah alasan mengapa Srintil ingin menjadi ronggeng.
                        Banyak pula gadis-gadis di Dukuh Paruk yang ingin menjadi ronggeng, agar bisa merubah nasibnya menjadi orang kaya. Karena saat itu, masyarakat Dukug Paruk memang serba kekurangan.
2.      Ritual Srintil sebagai syarat menjadi ronggeng
                        Srintil harus melakukan banyak hal terkait kematangannya untuk ingin menjadi seorang ronggeng. Ia pun harus menjalani berbagai ritual yang sudah ditentukan oleh Ki Kertaraja sebagai dukun paruk atau kamitua, yang mengurus hal-hal yang berkaitan dengan ronggeng.
                        Suatu hal yang tidak mudah tentunya bagi Srintil, karena beberapa di antara syarat menjadi ronggeng harus bertentangan dengan batinnya. Tetapi Srintil harus mampu melewati itu semua, agar ia sah menjadi ronggeng. Srintil pun berusaha untuk melakukannya meski bertentangan dengan batinnya, demi menjadi seorang ronggeng. Beberapa ritual yang harus dijalani Srintil di antaranya:

a.       Upacara Pemandian
Upacara pemandian adalah ritual pertama yang lakukan Srintil. Di mana ia diarak oleh seluruh warga Dukuh Paruk, untuk dimandikan di dekat makam leluhur atau eyang Dukuh Paruk, yaitu Ki Secamenggala. Makam Ki Secamenggala memang dikeramatkan oleh warga Dukuh Paruk. Setelah dimandikan, Srintil kemudian disuruh meronggeng di dekat pusara Ki Secamenggala, diiringi tetabuan calung dan disaksikan oleh masyarakat Dukuh Paruk.
b.      Pementasan di Atas Panggung
Selanjutnya, dan pada hari berikutnya. Srintil berpentas dan meronggeng di atas panggung untuk yang pertama kalinya, di depan ratusan masyarakat Dukuh Paruk. Ia didandani layaknya seorang ronggeng, dan menari dengan lincah seperti ronggeng profesional. Bila ada laki-laki yang menyentuh atau menjamahnya, Srintil tak peduli, sebab itulah risiko utama menjadi seorang ronggeng. Tidak pernah lepas dari tangan kenakalan laki-laki berhidung belang.
c.       Ritual bukak-klambu
Dan yang terakhir, ini adalah ritual yang sangat bertentangan dengan batin Srintil. Di mana ia harus merelakan keperawanannya untuk satu laki-laki yang berhasil mewisudanya. Tetapi, untuk menjalankan ritual itu, terlebih dahulu Ki Kertaraja mengadakan sayembara, syarat untuk laki-laki yang ingin menjalani ritual bukak-klambu dengan Srintil.
Srintil mengalami dilema berat, karena ia harus mengorbankan barang berharganya untuk laki-laki yang tidak dicintainya. Sebab, hati Srintil terlanjur mencintai laki-laki di masa kecilnya, yaitu Rasus. Rasus pun merasa kecewa saat Srintil akan menjalani ritual bukak-klambu. Tetapi, demi menjadi seorang ronggeng, Srintil harus melakukan ritual itu.
3.      Keberadaan Srintil menjadi ronggeng memberi pengaruh bagi masyarakat Dukuh Paruk
                        Setelah Srintil berhasil melewati tiga macam ritual, ia pun dinobatkan menjadi ronggeng yang sah di Dukuh Paruk. Tentunya keberadaan Srintil setelah menjadi ronggeng memberikan banyak pengaruh bagi masyarakat Dukuh Paruk. Beberapa di antaranya dimulai dari pihak yang bersengekta untuk memenangkan sayembara keperawanan Srintil. Belum lagi pandangan masyarakat terhadap Srintil akan pekerjaannya sebagai ronggeng. Namun, Srintil merasa senang, karena lebih banyak yang mengaguminya daripada yang membencinya. Tidak lain halnya dengan para istri yang merasa waswas dan berhati-hati, takut jika suaminya kepincut oleh kecantikan dan kemolekan Srintil. Dan banyak pula laki-laki yang ingin mengajak kencan Srintil, bahkan ingin meniduri Srintil, tanpa ingin menikahinya. Sejak saat itulah, ketenaran Srintil semakin menjulang sebagai seorang ronggeng, dan saat itu pulalah, Srintil harus kehilangan cinta sejatinya, yaitu Rasus.
Fakta cerita, yang terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan realitas sehari-hari.
Hubungan cerita Ronggeng Dukuh Paruk dengan realitas sehari-hari
            Secara sederhana, sastra membahas soal kehidupan anak manusia. Begitu pula di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yang memiliki banyak keterkaitan dengan realitas sehari-hari. Beberapa di antaranya adalah:
1.      Ronggeng dianggap memiliki kekuatan yang magic.
Seorang ronggeng dianggap memiliki kekuatan magic saat menari. Dibawah alam sadarnya. Pada saat menari gerakannya ringan dan seperti menari tanpa kesadaran. Dipercaya ada kekuatan magic di sana. Perhatikan kutipan- kutipan berikut:
“Ketika Srintil menyanyikan lagu yang sulit- sulit, yang pasti belum pernah dipelajarinya, bulatlah hati Kartareja. Dia harus percaya bahwa Srintil mendapat indang. Kartareja percaya penuh, Srintil dilahirkan di dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng. Penampilan Srintil yang pertama, membuat kertareja mengangguk dan menggangguk.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2009:20)

Terlihat bagaimana dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dijelaskan bahwa untuk menjadi ronggeng, seorang ronggeng terlebih dahulu mendapat kekuatan dari ruh indang ronggeng. Hal tersebut terlihat juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut ada di dalam sebuah pernyataan di sebuah media likal saat membahas mengenai liku-liku kehidupan ronggeng di era modernisasi seperti ini.
Hal tersebut terlihat juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut ada di dalam sebuah pernyataan di sebuah media likal saat membahas mengenai liku- liku kehidupan ronggeng di era modernisasi seperti ini. Berikut kutipannya:
“Syahdan kehadirannya memiliki kekuatan magis tertentu yang menjadi sumber kekuatandan imajinasi bagi lelaki sehingga mampu menuntun mereka mengekspresikan keceriaan batin dengan menari bersama.” (Liputan 6.com,18/08/2010 20:58)

Terlihat bagaimana ada persamaan konsep bahwa seorang ronggeng memilki persamaan dengan dunia lain yang berada di luar dirinya sendiri. Seperti halnya fenomena magic yang membuat daya tarik tersendiri bagi seorang ronggeng dari penggemarnya, khususnya laki- laki.
Terlihat bagaimana persamaan konsep bahwa seorang ronggeng memilki persamaan dengan dunia lain yang berada di luar dirinya sendiri. Seperti halnya fenomena magic yang membuat daya tarik tersendiri bagi seorang ronggeng dari penggemarnya, khususnya laki- laki.
2.      Motivasi menjadi seorang ronggeng karena keadaan ekonomi
Keadaan ekonomi masyarakat menjadi hal yang lumrah. Entah itu ekonominya yang semakin meningkat, atau justru sebaliknya. Apabila ekonominya bermasalah dan semakin rendah, salah satu jalan keluarnya adalah dengan melakukan hal apapun sehingga ekonominya kembali membaik dan tidak kekurangan sebagaimana biasa. Mungkin dengan menjadi kuli, buruh, maupun usaha kecil-kecilan demi memperbaiki masalah ekonominya.
Tertampak juga pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Warga Dukuh Paruk khususnya yang paling parah dalam soal perekonomian. Warga bergantung pada sawah milik Kertaraja yang menjadi mata pencahariannya, karena Kertaraja adalah orang paling kaya di desa Dukuh Paruk. Tak terkecuali Srintil, yang menggantungkan hidupnya pada Ki Kertaraja, karena hanya beliaulah yang mampu menghidupi dirinya dan Kakek Neneknya.
Srintil termotivasi untuk menjadi seorang ronggeng, itu semua juga berawal dari dorongan Kakeknya. Ki Kertaraja lah yang menjadi harapannya, dan mengurus semua keinginannya untuk menjadi seorang ronggeng. Seorang ronggeng memang menjanjikan akan berubahnya nasib menjadi lebih baik, terutama dalam soal ekonomi. Perhatikan kutipan berikut ini:

“Lihat. Baru beberapa bulan menjadi ronggeng sudah ada gelang emas di tanganSrintil. Bandul kalungnya sebuah ringgit emas pula,” kata seorang perempuan penjual sirih.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2009: 81).

Dari kutipan di atas sangat jelas perubahan hidup Srintil, yang tadinya hanya seorang gadis serba kekurangan, kini ia menjadi gadis yang serba berlimpah harta. Hal tersebut juga terjadi di dalam kehidupan sehari- hari. Seseorang yang memutuskan menjadi seorang ronggeng karena himpitan faktor ekonomi. Perhatikan kutipan berikut:
“Jika seorang petani biasa, atau penyadap nira kelapa, ingin memanggil grup ronggeng, mereka harus menyiapkan uang sesuai tarif yang dipatok sejak jauh hari. Tatkala ronggeng dipentaskan, status sosial naik. Akan tetapi, tidak semua orang bisa memanggil grup ronggeng amen. Tarif sekali pentas sehari semalam sekitar Rp 3,5 juta, bukanlah angka yang kecil bagi petani. Hanya warga kelas sosial ekonomi mapan yang mampu menghadirkan ronggeng dengan tarif sebesar itu.” (Kompas, 12 Februari 2010)

Terlihat bagaimana ada dua kemiripan fenomena yang ada di dalam novel dan keseharian.
3.      Ronggeng adalah hiburan yang dipentaskan untuk acara warga.
Ronggeng merupakan seni hiburan yang dipentaskan untuk acara warga. Entah itu acara hajatan resmi, maupun tidak resmi. Dalam acara Agustusan pun ronggeng mutlak dipentaskan demi memeriahkan acara ulang tahun Republik Indonesia, pada novel tersebut. terdapat pada kutipan berikut ini:
“Kang Sakarya,” Ujar Pak Ranu. “Bukan saya yang hendak punya hajat, melainkan panitia perayaan Agustusan”
“Agustusan dengan mementaskan ronggeng?”

Tampak bahwa ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dipentaskan untuk acara-acara warga. Hal yang sama juga terlihat dalam kehidupan sehari- hari. Berikut, dari sebuah artikel Koran Nasional.

“Peronggeng amen dari Grup Ronggeng Girimukti, Padaherang, Ciamis, Jawa Barat menari bersama penonton di halan balai Desa Sindangasih, Banjarsari, Ciamis, Jumat, (12/2). Di bawah naungan awan-gemawan musim kemarau di Kampung Kalenanyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, tujuh penari itu menggoyang tubuh mereka di atas tanah becek yang ditaburi kapur. Para ronggeng menari tanpa alas kaki.
Udara pukul 10 pagi gerah saat suara gamelan dan tarian ronggeng mulai hadir utuh di halaman rumah Nasum (50), keluarga yang berhajat. Orang-orang berangsur berkumpul di rumah petani penyadap kelapa dari Desa Rawaapu Kecamatan Patimuan, Cilacap, itu yang tengah melaksanakan nadar khitan untuk anak lelakinya, Faisal (9).”

Dari penjelaasan tersebut jelas terlihat bahwa di dalam kenyataan sehari- hari juga, ronggeng dipentaskan untuk acara warga. Dalam kutipan di atas acara khitanan.
4.      Ritual menjadi seorang ronggeng.
Ritual yang dihadapi seorang ronggeng dalam novel tersebut, yang telah dijelaskan sebelumnya, juga memiliki keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang pernah terjadi. Seperti: upacara pemandian, pementasan di panggung, dan bukak-klambu. Hal-hal yang demikian patut dilakukan oleh calon ronggeng. Guna agar seorang ronggeng nantinya dapat cepat memiliki keuntungan. Sama halnya dengan ronggeng-ronggeng yang ada di kehidupan nyata.
5.      Hormat kepada para leluhur.
Menghormati leluhur yang pernah berdiam di desa Dukuh Paruk adalah merupakan kewajiban bagi warga-warga yang juga tinggal di Dukuh Paruk. Lumrahnya, penghormatan semacam itu biasa dilakukan dengan cara memberikan sesajen atau sesemahan kepada leluhur, dengan menyimpannya di dekat makam leluhur.
Di Dukuh Paruk, banyak warga yang sangat meninggikan derajat Eyang Ki Secamenggala, yang merupakan leluhur di dukuh terpencil itu. Setiap bulannya, warga desa harus menyediakan sesajen untuk Eyang Ki Secamenggala, agar Dukuh Paruk tetap tenteram dan terhindar dari segala marabahaya.
Hal yang juga sering terjadi di realitas warga masyarakat Indonesia. Nampaknya hal tersebut sudah menjadi tindakan yang lumrah agar terhindar dari bencana dan bahaya. Seperti: melemparkan sesajen ke laut setiap empat tahun sekali untuk merayakan hari bumi. Yang berfungsi agar bumi ini terhindar dari bencana alam. Atau menyediakan sesajen untuk nenek moyang ketika di rumah sedang ada acara resmi, seperti: resepsi, hajatan maupun halal bil halal. Semua itu dilakukan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

G.    Kesimpulan
Cerita kehidupan di dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini memiliki keterkaitan yang begitu kental dengan realitas sehari-hari. Dilihat dari fenomena-fenomena di dalam novel serta fenomena-fenomena pada kehidupan nyata masyarakat Indonesia, yang memiliki banyak kesamaan. Ahmad Tohari pada saat itu mengapresiasikan tulisannya dengan menghubungkan kondisi masyarakat pada zaman dahulu. Di mana masyarakat zaman dahulu tidak begitu peduli dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Salah satunya adalah norma agama. Terlihat pada sebagian cerita yang bertentangan dengan norma agama. Seperti: menyayembarakan keperawanan seorang gadis, dan meninggikan derajat orang yang sudah meninggal. Norma-norma agama seperti itu diselewengkan. Sebab, novel tersebut lebih kepada fenomena keadaan masyarakat itu sendiri. Tradisi, seni dan kepuasan alam yang diberikan oleh desa Dukuh Paruk kepada utusan-utusannya.
H.    Daftar Pustaka
Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.





I.       Lampiran
Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari

Diceritakan di sebuah desa bernama Dukuh Parruk, tinggal seorang gadis yang cantik jelita bernama Srintil dan memiliki sahabat bernama Rasus. Suatu ketika Srintil menari tayub saat Rasus dengan teman-temannya mengiringi tariannya dengan tembang dan musik. Meskipun suara calung dan gendang tersebut dibuat dari mulut mereka. Srintil menari serupa tarian ronggeng.
Ketika itu, kakek Srintil bersama Kartaredja melihat hal tersebut. Srintil dinobatkan menjadi seorang ronggeng setelah melalui beberapa ritual.
Semua ritwal itu dijalani Srintil. Mulai dari mandi di pusara kuburan Ki Secamenggala sampai dengan ritual buka klambu. Ritual terakhir yang harus dilalui seorang calon ronggeng adalah buka klambu. Ia akan menyelenggarakan sayembara terhadap para lelaki yang berani menawarnya paling mahal untuk mendapatkan keperawanannya. Setelah ada seorang lelaki yang mampu memenuhi persyaratannya, maka ia akan memberikan keperawanannya pada lelaki tersebut.
Rasus tidak rela melihat itu. Ia tak rela melihat Srintil melepas kesuciannya begitu saja demi ritual buka klambu untuk menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Srintil juga berada di dalam kebimbangan antara ingin menjadi ronggeng yang sesungguhnya dan merasa takut melakukan ritual tersebut. Ritual itu sebenarnya juga amat berat baginya. Akan tetapi akhirnya Srintil memberikan kesuciannya kepada Rasus secara diam-diam tanpa imbalan apapun. Meskipun setelah itu juga ada lelaki yang memenangkan sayembara buka klambu itu.
Srintil akhirnya menjadi ronggeng yang terkenal setelah ritual buka klambu dilaksanakan. Ia menjadi ronggeng yang laris dan menjadi pembicaraan semua orang.
 Setiap orang memujinya. Ia juga semakin kaya setelah menjadi ronggeng.
Tak kuasa melihat Srintil yang telah menjadi ronggeng, Rasus pindah dari Dukuh Paruk ke Dawuhan. Awalnya ia bekerja menjadi pesuruh di pasar. Tetapi akhirnya ia bekerja bersama para tentara yang bertugas di sana. Rasuspun akhirnya juga diangkat menjadi seorang tentara berkat kejujuran dan kegigihannya. Setelah menjadi ronggeng, justru Srintil menyadari bahwa ia mencintai Rasus. Ia ingin merasakan kelembutan sentuhan lelaki dan merasa jenuh menjadi ronggeng.
Srintil mengajak Rasus menikah, tetapi Rasus menolak karena lebih memilih menjadi tentara. Srintil sangat bersedih karena hal tersebut. Srintil yang sudah mulai merasa jenuh menjadi seorang ronggeng dukuh paruk, sering menolak untuk melayani para lelaki. Bahkan beberapa kali menolak untuk meronggeng. Sebenarnya ia ingin memiliki hidup yang lebih tenang, yaitu memiliki suami dan anak. Memiliki keluarga yang bisa menenteramkan hatinya. Ia juga masih mengharapkan Rasus, seorang lelaki Dukuh Paruk yang kini telah menjadi tentara. Banyak sekali permasalahan yang mulai membuat Srintil untuk enggan meronggeng. Apalagi ia mulai menemukan Goder yang diangkat menjadi anaknya. Ia sangat memanjakan Goder laiknya anaknya sendiri. Ia semakin teguh untuk berhenti meronggeng dan menciptakan hidup baru.
Namun tiba-tiba petaka muncul menghantam dukuh paruk. Dukuh paruk diguncang oleh panas dan liciknya dunia politik. Dukuh paruk dituduh menjadi anggota partai komunis setelah terlibat dengan oknum partai tersebut. Dengan segala kebodohan yang dimiliki dukuh paruk, Srintil bersama beberapa masyarakat dukuh paruk lainnya ditahan.
Srintil menjadi orang dukuh paruk yang paling lama ditahan. Setelah ia dibebaskan, kehidupannya sudah mulai berubah. Ia mulai tertutup dengan orang lain. Pandangan orang lain terhadapnya juga mulai berubah karena identik dengan partai komunis tersebut serta menjadi bekas tahanan. Hingga ia bertemu dengan Bajus, lelaki yang mulai dekat dengannya. Dengan ketulusan dan kebaikan Bajus Srintil menjadi terbuka dan dekat dengan Bajus. Semakin hari Srintil semakin dekat dengan Bajus dan kehidupan Srintil mulai membaik.
Rasus yang telah lama tidak pulang, akhirnya ia kembali ke dukuh paruk untuk berlibur. Mengetahui hal itu hati Srintil sempat goyah. Ia sebenarnya masih menyimpan rasa terhadap Rasus. Tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia juga menyadari bahwa ia sedang dekat dengan Bajus.
Suatu hari Srintil diajak Bajus untuk mengikuti acara tertentu. Ternyata selama ini Bajus telah memiliki rencana jahat terhadap Srintil. Bajus ingin menyerahkan Srintil kepada bosnya sebagai hadiah agar bisnisnya lancar. Srintil sangat terpukul karena ia telah begitu percaya pada Bajus. Namun Bajus justru merupakan lelaki yang jahat. Karena itu, Srintil mengalami gangguan jiwa dan menjadi gila. Melihat kondisi Srintil yang memrihartinkan, Rasus merasa iba. Ia akhirnya membawa Srintil ke rumah sakit jiwa.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar