DEMORALISASI TOKOH UTAMA DALAM NOVEL AZURE KARYA RAHAYU LESTARI
SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PENGAJARAN SASTRA DI SMA
Kajian Sosiologi Sastra
Proposal Penelitian
Dosen Pengampu:
Dra. Titiek Suyatmi, M.Pd
Disusun oleh:
Maya
Marliana
12003060
C/VI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2015
A.
Latar
Belakang Masalah
Demoralisasi masyarakat
dewasa ini dapat kita lihat dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat dari berbagai
kalangan, mulai anak-anak hingga dewasa. Dimulai dengan pudarnya tatanan sosial
dan nilai nilai moral terutama di kalangan remaja sebagai implikasi dari
derasnya arus informasi yang mampu merubah gaya hidup anak bangsa. Sehingga
bagaimana sebuah kekerasan itu ditayangkan di media akan cepat ditiru dan
dipraktekkan oleh mereka. Demikian pula perkelahian massal pelajar,
penyalahgunaan obat terlarang, narkoba, pornografi, maraknya korupsi, tindakan
kriminalitas, pelacuran, radikalisme remaja dan masih banyak lagi praktek
demoralisasi masyarakat yang dapat kita lihat dan temukan dalam kehidupan di
era globalisasi ini. Seperti yang dikutip dalam berita tawuran pelajar dibawah
ini.
Blitar
(08/12/2012) - Ratusan pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kota Blitar,
Sabtu, terlibat tawuran di kawasan Taman Kota Kebonrojo, usai menjalani ujian
sekolah. Tawuran pelajar itu melibatkan siswa SMK Negeri I Kota Blitar dengan
SMK Katolik Kota Blitar. Mereka membawa berbagai macam alat untuk tawuran, di
antaranya kayu dan batu.
Sejumlah saksi
mata melaporkan, awalnya sekitar 30 pelajar SMK Katolik yang sedang berkumpul
di sebuah warung diserang pelajar dari SMK Negeri I dan SMK Islam, dengan
dilempari botol dan batu. Merasa tidak terima, pelajar SMK Katolik balik membalas
hingga terjadilah tawuran massal di Taman Kota Kebonrojo.
Aksi tawuran itu
reda setelah aparat kepolisian turun ke lokasi kejadian dan para pelajar
melarikan diri. Petugas terus berjaga di lokasi tawuran dan kedua sekolah
tersebut (Antarjatim.com, 2012)
Sebuah
peradaban dalam suatu bangsa akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada
masyarakatnya. Banyak pakar, filusuf, yang mengatakan bahwa faktor moral
(akhlak) adalah hal utama yang menjadi penyebab demoralisasi pada suatu bangsa.
Indonesia saat ini
sedang menghadapi ujian berat yang harus dihahadapi oleh seluruh elemen bangsa
Indonesia, kualitas karakter bangsa indonesia sendiri pada saat ini telah mengalami
kemerosotan khususnya generasi muda bangsa indonesia yang banyak sekali
mengalami kemerosotan dalam segala hal. Hal tersebut ditandai dengan maraknya praktek
aborsi, penggunaan narkoba, seks bebas dan hal-hal negatif lainnya yang merugikan
bangsa itu sendiri. Salah satu contoh perilaku demoralisasi di Indoonesia
seperti yang tercantum dalam kutipan berita berikut ini.
Cianjur (24/09/2012): Pelaku kasus
aborsi di Kabupaten Cianjur didominasi kalangan pelajar Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan peningkatannya cukup
drastis dibandingkan tahun lalu.
Ketua Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Cianjur
Yana Rosdiana Muchtar Soleh sangat memprihatinkan dengan banyaknya pelajar yang
menjadi pelaku aborsi. Walaupun tidak memiliki data, tetapi faktanya ada.
“Memang kami
tidak memiliki data yang rinci, tetapi setiap hari selalu ada informasi yang
masuk tentang kasus aborsi. Apalagi yang lebih memprihatinkan, pelakunya
sebagian besar para pelajar SMP dan SMA,” kata Yana di Cianjur (Tempo.com,
2012).
Demoralisasi
yang banyak terjadi adalah pada diri anak remaja. Kehidupan
seorang remaja pada dasarnya masih berada di bawah naungan kedua orang tua.
Lantas kenapa demoralisasi itu terjadi jika para remaja masih berada di bawah
naungan orang tuanya? Penyebabnya adalah pengawasan orang tua yang lemah. Orang
tua akan lebih merasa bangga dan percaya ketika melihat anaknya sudah beranjak
remaja dan mulai bisa menyelesaikan masalah-masalah kecil yang dihadapinya,
padahal seharusnya orang tua harus mengawasi kehidupan labil seorang anak
remaja.
Kemerosotan akhlak atau demoralisasi yang banyak terjadi di negara
Indonesia kini tertuang penuh pada sebuah karya sastra Indonesia yang
menggambarkan penurunan dan perkembangan dari suatu negri itu sendiri. Karena
karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya.
Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat. Pengarang mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas
sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur
tertentu dan masyarakat tertentu.
Pernyataan di atas sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah
sebagai lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan
dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi
merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan
kelompok sosial masyarakat.
Ada beberapa kajian yang bisa diterapkan dalam meneliti sebuah karya
sastra. Di antaranya adalah psikologi, antropologi, sosiologi, feminisme,
strukturalisme, intertekstual, stilistika, dan masih banyak lagi. Namun di
dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada kajian sosiologi sastra. Sosiologi adalah
studi
ilmiah tentang masyarakat dan tentang aspek kehidupan manusia yang diambil dari
“kehidupan di dalam masyarakat” (Soerjono Soekanto, 2002: 3). Sosiologi sastra
adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan oleh beberapa penulis (Jabrohim, 2003: 158).
Objek studi sosiologi adalah masyarakat, dengan menyoroti hubungan
antarmanusia dan proses sebab-akibat yang timbul dari hubungan tersebut. Selain
itu, sosiologi dapat dikaji dengan perspektif lingkungan. Dalam perspketif
tersebut, secara kolektif dapat dikategorikan dalam tiga tahapan sosiologi,
yaitu sifat dasar dan perkembangan manusia, interaksi manusia dan hubungannya,
serta penyesuaian secara bersama dengan lingkungan. Jadi, dalam sosiologi juga
terdapat kajian tentang ekologi manusia. Peneliti memilih kajian sosiologi
sastra karena demoralisasi berkaitan dengan nilai-nilai moral, dan nilai-nilai
moral merupakan bagian dari masalah sosial. Masalah tawuran di kalangan anak
pelajar, narkoba, serta seks bebas adalah bukti demoralisasi yang semakin
merajalela di kalangan anak bangsa khususnya remaja.
Pada zaman era globalisasi ini banyak fenomena-fenomena sosial yang
terjadi. Di antaranya adalah demoralisasi, terorisme dan delinkuensi.
Demoralisasi adalah kemerosotan akhlak, terorisme adalah tindakan kerusakan di
dalam masyarakat, sedangkan delinkuensi adalah kenakalan remaja (Brooks dan
Gable, 2007 dalam Zuriah, 2008: 59). Lebih jauhnya lagi, penelitian ini
terpusat pada objek demoralisasi.
Pengertian demoralisasi itu sendiri adalah keadaan di mana kualitas moral
warga masyarakat mengalami penurunan. Demoralisasi berhubungan dengan rendahnya
standar moral dan penetapan nilai serta norma dalam masyarakat. Brooks dan
Gable (2007) dalam (Zuriah, 2008: 59) mengatakan bahwa demoralisasi berhubungan
dengan rendahnya standar moral dan penetapan nilai serta norma dalam
masyarakat.
Pengajaran sastra merupakan salah satu pengajaran yang wajib di SMA.
Melalui pengajaran sastra, siswa belajar menafsirkan dan memahami masalah-masalah
kehidupan. Novel Azure karya Rahayu Lestari merupakan salah satu novel yang
mencerminkan masalah kemerosotan akhlak dan tingkah laku menyimpang remaja pada
zaman globalisasi ini. Dengan mengkaji novel tersebut, diharapkan siswa dapat
mengambil manfaat dari dampak perilaku demoralisasi yang terkandung di dalam
novel tersebut. Pada umumnya, fiksi berupa novel, cerpen, dongeng, roman, dan
lain-lain. Cerita fiksi yang dikemas manis, seolah-olah akan mencerminkan
kehidupan nyata, sehingga jika dijadikan bahan pengajaran akan semakin menarik
(Endraswara, 2005: 173). Sebagai suatu gambaran “perjalanan” hidup manusia,
fiksi tentu memiliki kelebihan tertentu bagi pembacanya. Bagi subjek didik,
setidaknya akan mencocokkan hidupnya dengan pengalaman dalam fiksi. Sementara
itu, Rahmanto (1992: 21) berpendapat bahwa penggunaan novel sebagai bahan
pengajaran sastra dapat menjadikan siswa lebih peka perasaan dan emosinya.
Alasan
peneliti memilih judul “Demoralisasi Tokoh Utama Dalam Novel Azure Karya Rahayu
Lestari Kajian Sosiologi Sastra dan Aplikasi Pengajarannya Di SMA” karena
setelah menyurvei skripsi-skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia belum ada yang meneliti sastra dengan objek demoralisasi pada kajian
sosiologi sastra, oleh karena itu peneliti merasa tertantang untuk melakukan
sebuah penelitian tersebut. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui seberapa
jauh kerusakan moral yang terjadi pada kehidupan nyata sehingga berpengaruh
pada karya-karya fiksi yang menjadikan tokohnya sebagai objek demoralisasi. Dan
alasan peneliti memilih novel Azure karya Rahayu Lestari sebagai objek
penelitian adalah sebagai berikut (1) di dalam novel tersebut terdapat banyak
tindakan-tindakan demoralisasi yang dilakukan oleh tokoh utama, (2) alur cerita
pada novel tersebut sangat menggambarkan kehidupan yang kacau balau yang
terjadi pada kehidupan realita para remaja di Indonesia, (3) tindakan
demoralisasi yang terdapat di dalam novel Azure dapat dijadikan sebagai
pelajaran hidup bagi remaja, (3) masalah yang terdapat dalam novel Azure banyak
dialami oleh masyarakat khususnya para remaja.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dipaparkan di atas maka masalah dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1.
Bagaimana polah tingkah laku demoralisasi remaja
Indonesia yang semakin merajalela.
2.
Sejauh mana pengarang menggambarkan perilaku
demoralisasi yang terjadi di kehidupan nyata dengan kehidupan fiksi.
3.
Bagaimana tokoh utama dalam novel Azure karya Rahayu
Lestari melakukan demoralisasi akibat depresi berat dalam hidupnya.
4.
Salah satu faktor kemerosotan akhlak pada tokoh utama
dalam novel Azure karya Rahayu Lestari adalah karena kurang perhatian penuh
dari orang tua.
5.
Bagaimana akibat yang didapat tokoh utama dalam novel
Azure karya Rahayu Lestari setelah melakukan demoralisasi.
6.
Amanat apa yang dapat diambil dalam kehidupan tokoh
utama dalam novel Azure karya Rahayu Lestari.
7.
Novel Azure karya Rahayu Lestari sebagai Alternatif bahan pengajaran sastra di
SMA.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian lebih terarah, maka
permasalahan dapat dibatasi sebagai berikut.
1.
Demoralisasi tokoh utama dalam novel Azure karya
Rahayu Lestari kajian sosiologi sastra dan aplikasi pengajarannya di SMA.
2.
Faktor tindakan demoralisasi pada tokoh utama dalam
novel Azure karya Rahayu Lestari kajian sosiologi sastra dan aplikasi pengajarannya
di SMA.
3.
Dampak yang terjadi pada pelaku demoralisasi tokoh
utama dalam novel Azure karya Rahayu Lestari kajian sosiologi sastra dan aplikasi
pengajarannya di SMA.
4.
Novel Azure karya Rahayu Lestari sebagai Alternatif
bahan pengajaran sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang
telah diuraikan di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana demoralisasi tokoh utama novel Azure karya
Rahayu Lestari?
2.
Apa sajakah faktor yang melibatkan terjadinya
demoralisasi pada tokoh utama novel Azure karya Rahayu Lestari?
3.
Bagaimana dampak dan akibat dari demoralisasi yang
terjadi pada tokoh utama novel Azure karya Rahayu Lestari?
4.
Bagaimanakah Novel Azure karya Rahayu Lestari sebagai
Alternatif bahan pengajaran sastra di SMA?
E. Tujuan
1.
Untuk mengetahui perilaku demoralisasi apa saja yang
dilakukan oleh tokoh utama novel Azure karya Rahayu Lestari.
2.
Untuk mengidentifikasi faktor demoralisasi pada tokoh
utama novel Azure karya Rahayu Lestari.
3.
Untuk mengetahui dampak dan akibat dari demoralisasi
yang terjadi pada tokoh utama novel Azure karya Rahayu Lestari.
4.
Untuk mendeskripsikan Novel Azure karya Rahayu Lestari sebagai Alternatif bahan pengajaran
sastra di SMA.
F. Manfaat
1. Manfaat
Teoretis
Penelitian ini diharapkan menjadi
langkah awal untuk penelitian lebih lanjut. Serta diharapkan dapat memberikan
sumbangan terhadap pengembangan teori sastra, khususnya mengenai penerapan
salah satu bentuk kajian, yaitu penelitian sastra dengan kajian sosiologi
sastra. Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu contoh
kajian dalam rangka peningkatan kemampuan apresiasi sastra. Selanjutnya
penelitian ini juga diharapkan mampu menambah khasanah kajian sastra, yang
berkaitan dengan demoralisasi yang terdapat dalam novel Azure karya Rahayu
Lestari.
2. Manfaat
Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat
membantu guru sebagai sarana dalam mengaplikasikan pengajaran sastra di
sekolah. Dan dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami lebih dalam tentang
perilaku demoralisasi yang terdapat dalam novel Azure karya Rahayu Lestari.
G.
Kajian
Teori
1. Novel
Sebagai Hakikat Karya Sastra
Sebuah karya
sastra adalah ciptaan yang disampaikan dengan komunikatif tentang maksud
penulis untuk tujuan estetika. Jenis karya sastra bermacam-macam salah satunya
adalah novel. Novel sebagai bentuk karya sastra, selain memberi hiburan juga
memberikan manfaat. Novel dapat menghibur, karena di dalamnya tersaji suatu
cerita yang indah, gaya bahasa yang menarik dan dapat memberikan pengaruh bagi
pembaca. Membaca sebuah novel berarti menikmati sebuah cerita, menghibur diri
untuk memperoleh kepuasan batin. Betapapun syaratnya pengalaman dan
permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah novel tetap merupakan sebuah
cerita yang menarik, hubungan struktur koherern, dan mempunyai tujuan estetik
(Wellek dan Werren dalam Nurgiyantoro, 2010: 3).
Menurut Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 2010: 9) novel merupakan hasil karya sastra yang
menggambarkan kehidupan manusia yang berinteraksi dengan manusia lain dalam
satu komunitas masyarakat sehingga mewujudkan cerita. Istilah novel diambil
dari bahasa Inggris yaitu novel.
Sebutan novel dalam bahasa itu sendiri berasal dari bahasa Italia novella yang secara harfiah berupa
barang baru yang kecil. Di Indonesia istilah tersebut dikenal dengan novelet yang berarti sebuah frasa yang
penjangnya cukupan, tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek.
Sebagai genre
sastra termuda, novel ternyata telah banyak menarik perhatian dan minat banyak
kalangan. Dan tentu saja pertanyaan seputar apa yang dimaksud dengan novel
mengundang berbagai pandangan karena ia tidak saja sulit dijawab, tetapi juga
problematis untuk didekati. Kesulitan itu muncul sebagai akibat beberapa
faktor. Dari perspektif historis, novel memiliki garis perkembangan yang
membentang ke belakang, ke tradisi-tradisi fiksi pendahulunya. Kesulitan lain
adalah dalam pemberian definisi kepada unsur-unsur yang membentuk istilah
sekaligus menjadi ciri pembeda novel (Aziez dan Hasim, 2010: 1).
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya fiksi (karya
imajinatif) yang panjang cakupannya, merupakan cerita yang menarik, mempunyai
hubungan struktur koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Novel juga bersifat
menghibur, karena di dalamnya tersaji suatu cerita yang indah, gaya bahasa yang
menarik, dan dapat memberikan pengaruh bagi pembaca.
Novel dibangun
atas dua unsur yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik
adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2010: 23-24). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang
secara turut serta membangun cerita dari dalam. unsur-unsur tersebut adalah
peristiwa cerita, alur, tokoh dan penokohan, tema, sudut pandang, gaya bahasa,
dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem
organisasi karya sastra. Unsur ekstrinsik tersebut diantaranya adalah
psikologi, pendidikan, agama, ekonomi, politik, budaya serta sosial.
a. Ciri-Ciri
Novel
Aziez dan Hasim (2010: 3) mengemukakan
ciri-ciri novel sebagai berikut.
1) Novel
berbentuk prosa, yaitu merupakan bentuk pengungkapan dengan cara langsung,
tanpa meter atau rima dan tanpa irama yang teratur. Novel tidak berbentuk
begitu saja, dalam novel bisa dijumpai elemen-elemen puitis ataupun
mencantumkan puisi di dalamnya. Sekalipun tidak terlalu tergesa-gesa jika kita
berasumsi bahwa bahasa yang digunakan dalam novel adalah bahasa sehari-hari,
atau bahasa-bahasa yang bisa kita jumpai dalam tulisan-tulisan non fiksi, kita
sejauh tentu bisa mengatakan bahwa bahasa novel memungkinkan kita membacanya
tanpa kesulitan berarti, utamanya jika dibandingkan dengan bahasa puisi yang
secara ketat diatur oleh konvensi-konvensi puitisnya. Kenyataan ini juga
memilik andil yang cukup besar dalam mendekatkan novel dengan “dunia yang
sebenarnya”.
2) Novel
bersifat naratif, yang artinya ia lebih bersifat “bercerita” daripada
“memperagakan”. Ciri yang satu ini membedakan novel dari drama-drama yang penceritanya lebih
banyak mengandalkan peragaan dan dialog. Novel bisa saja membuat
penggambaran-penggambaran yang sangat dramatis, nyaris tampak seperti keadaan
yang sesungguhnya sehingga pembaca bisa lupa bahwa apa yang kita saksikan
tentang tokoh dan latar tidak disuguhkan secara langsung, tetapi melalui
bantuan teknik cerita atau narasi tertentu.
3) Novel
memiliki apa yang disebut dengan tokoh, perilaku, dan plot. Dengan kata lain,
novel melibatkan sejumlah orang yang melakukan sesuatu dalam suatu konteks
total yang diatur atau dirangkai dalam urutan logis: kronologis, sebab-akibat,
dan sebagainya. Dan dalam sebagian novel yang ada, hubungan di antara ketiga
elemen ini begitu lekat sehingga tercipta suatu kesatuan harmonis. Sebuah puisi
tidak perlu memiliki tokoh atau perilaku, atau lebih-lebih plot. Sementara
dalam novel jarang sekali kita jumpai novel yang tidak memiliki salah satu dari
ketiga unsur tersebut.
4)
Novel memiliki ukuran panjang tertentu.
Sebuah puisi sebagai contoh, bisa hanya terdiri dari dua jenis dari dua baris
saja, atau sampai ribuan bait. Akan tetapi, sebaliknya kita akan merasa kurang
pas kalau menyebut cerita yang panjangnya hanya antara empat puluh sampai lima
puluh halaman sebagai novel.
Berdasarkan
pengertian dan ciri-ciri novel di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan
hakikat karya sastra yang mengandung serangkaian peristiwa (kejadian) dengan
kehidupan tokoh-tokoh yang sangat kompleks dan panjang serta pergolakan yang
luar biasa sehingga mengakibatkan
perubahan nasib pelakunya.
2. Sosiologi
Sastra
a. Pengertian
Sosiologi Sastra
Sosiologi
sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata
Bahasa Yunani yaitu sosio dan logi. Sosio atau sosious
artinya bersama-sama, bersatu, kawan atau teman. Sedangkan logi atau logos berarti
sabda, perkataan, arau perumpamaan. Kemudian kata Sastra berasal dari Bahasa
Sansakerta yaitu sas dan tra,
sas yang berarti mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk dan instruksi, sedangkan pada akhiran tra mempunyai arti alat atau sarana.
Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku
pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah
terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya
yang baik (Ratna, 2009: 1-2). Jadi dapat disimpulkan dari kedua pengertian tersebut
bahwa sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa
aktivitas sosial manusia, sedangkan sastra adalah karya seni yang merupakan
ekspresi kehidupan manusia.
Menurut
Umar Junus (dalam Ratna, 2009: 8) dijelaskan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu
yang mempelajari hubungan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan
lingkup sastra di Indonesia. Berbagai gejala sosial yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat sangat berpengaruh terhadap keberadaan karya sastra. Studi
sosiologi didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan
berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produk karya sastra
tidak didasarkan atas komuniikasi linear antara pengarang, penerbit, dan
masyarakat pembaca pada umunya, melainkan juga tradisi dan konvensi literer.
Analisis
sosiologi sastra memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra.
Karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu memiliki konsekuensi yang cukup
besar, adapun bentuk konsekuensi yang dimaksud adalah memberikan masukan, dan
manfaat terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Misalnya, sastra yang
dilahirkan oleh seorang pengarang dari bangunan masyarakat bawah (kaum
proletar), maka fungsi sosial sastra sebagai sarana perjuangan melawan ploretariat
melawan sistem kapitalisme. Jika sastra itu dilahirkan oleh pengarang dari
bangunan masyarakat atas (borjuis), sehingga sistem kapitalisme semakin kokoh.
Dengan demikian fungsi sastra tergantung pada masyarakat mana sastra itu
dilahirkan.
Sosiologi sastra harus memperhatikan kekhasan fakta
sastra. Dengan memberi keuntungan kepada para profesional, ia harus juga
menguntungkan pembaca dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional-sejarah
atau kritik dalam tugas-tugas khusus yang harus menjadi cakupannya. Secara
tidak langsung kegiatan itu tetap menjadi tugasnya: peranannya adalah
mengamatinya pada tingkatan masyarakat (Escarpit, 2005: 14).
Sosiologi dan sastra pada dasarnya merupakan dua
kajian ilmu yang berlainan namun terkait dengan objek kajian, maka dua studi
ini memiliki keterjalinan yang mendasar. Keterjalinan antara sosiologi dan
sastra dapat dibuktikan melalui kehidupan masyarakat atau manusia yang
dijadikan sebagai objek kajian antarkeduanya. Tidak terlepas dari peranan masyarakat sebagai dasar keterjalinan maka
dapat disebutkan bahwa karya sastra merupakan sebuah refleksi kehidupan sosial
budaya yang merupakan satu teks dialektika antara pengarang dengan situasi
sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan atau sejarah dialektik yang
dikembangkan dalam karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra merupakan suatu
disiplin yang memandang teks sastra sebagai pencerminan dari realita sosial.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa sosiologi sastra adalah mengkaji kehidupan masyarakat yang berada di
dalam karya sastra, serta pengaruh kehidupan masyarakat luar atau masyarakat di
dunia nyata dengan kehidupan masyarakat di dalam karya sastra.
b. Kaitan
Sastra dengan Sosial
Ratna (2013: 332) berpendapat bahwa ada beberapa hal
yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan demikian
harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1) Karya
sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2) Karya
sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi
dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3) Medium
karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi
masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan.
4) Berbeda
dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam
karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas
sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5) Sama
dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya sastra.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat,
baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas
penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun
memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan. Meskipun demikian,
di Indonesia, tata hubungan tersebut dianggap ambigu, bahkan diingkari. Pada
gilirannya, karya sastra dianggap tidak berperanan dalam meningkatkan kualitas
kehidupan. Masih banyak masyarakat yang mengukur manfaat karya sastra atas
dasar aspek-aspek praktisnya. Karya sastra semata-mata khayalan, misalnya,
masih mewarnai penilaian masyarakat sepanjang abad, penilaian negatif yang
secara terus menerus membawa karya sastra di luar kehidupan yang sesungguhnya
(Ratna, 2013: 334).
c. Model
Analisis Sosiologi Sastra
Ratna (2013: 339) mengemukakan bahwa
model analisis sosiologi sastra yang dapat dilakukan meliputi tiga macam,
sebagai berikut.
1) Menganalisis
masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri,
kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umunya
disebut sebagai aspek ekstinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.
2) Sama
dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan
aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3) Menganalisis
karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh
disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan
penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.
d. Sasaran
Penelitian Sosiologi Sastra
Sasaran penelitian sosiologi sastra
menurut Ian Watt (dalam Damono, 1979: 3-4) adalah sebagai berikut.
1) Konteks
sosial pengarang
Konteks
ini berkaitan dengan posisi sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan
masyarakat pembaca. Penelitian ini mencakup bagaimana pengarang mendapatkan
mata pencaharian, sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu
profesi, dan masyarakat apa yang dituju oleh pengarang (Ian Watt dalam Damono,
1979: 3).
2) Sastra
sebagai cermin masyarakat
Perhatian
utama penelitian ini yaitu sejauh mana sastra dapat mencerminkan masyarakat
pada waktu karya sastra itu ditulis, sejauh mana sifat seorang pengarang
mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, sejauh
mana genre sastra digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh
masyarakat (Ian Watt dalam Damono, 1979: 4).
3) Fungsi
sosial sastra
Fungsi
sosial sastra berkaitan dengan seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial.
Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu diungkap yaitu: (a) sejauh mana sastra
berfungsi sebagai pembaharu atau perombak masyarakatnya, (b) sejauh mana sastra
hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan (c) sejauh mana sastra harus
mengajarkan sesuatu dengan jalan menghibur (Ian Watt dalam Damono, 1979: 4).
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra mencakup tiga aspek
yaitu konteks sosial pengarang yang menjelaskan posisi sastrawan dan
masyarakat, sastra sebagai cerminan masyarakat yang menjelaskan peran karya
sastra dalam mencerminkan suatu masyarakat, dan fungsi sosial sastra yang
menjelaskan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat.
e. Tujuan
Penelitian Sosiologi Sastra
Tujuan sosiologi sastra adalah
meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat,
menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan (Ratna 2009: 11).
Karya sastra dalam penelitian sosiologi sastra bukan semata-mata gejala
individual, tetapi juga gejala sosial. Sebuah karya sastra dapat mengungkapkan
masalah-masalah yang ada di dalam suatu masyarakat.
Menurut Damono (1979: 3), tujuan
penelitian sosiologi sastra untuk mengetahui sampai sejauh mana sastra diminati
oleh masyarakat dan berperan dalam kehidupan masyarakat. Dalam penelitian
sosiologi sastra, karya sastra diharapkan dapat menjadi media dalam mengajarkan
sesuatu kepada masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan
penelitian sosilologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap,
utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya
sastra dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan timbal balik antara
ketiga nasir tersebut sangat penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan
penghargaan kita terhadap karya sastra itu sendiri.
3. Demoralisasi
a. Pengertian
Demoralisasi
Kata
Demoralisasi berasal dari kata ‘moral’ yang berarti akhlak atau budi pekerti. Menurut Djahiri (1996:18) mengatakan bahwa “Kata
moral berasal dari morus yang
bermakna norma,
aturan atau keharusan, dan menjadi moralita atau moralitas yang bersifat keadaan atau
kualifikasi/karakteristik/sifat. Moral berada dan berasal dari luar diri
manusia, yakni dari tuntutan keharusan/keyakinan orang lain atau kelompok
masyarakat di mana yang bersangkutan berada atau menjadi warga yang bersangkutan.
Kata moral selalu
mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai
baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang, pemain bulu tangkis
atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia dilihat dari segi kebaikanya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah
tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat
dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu
dan terbatas.
Suseno (1989:19) mengatakan bahwa norma-norma moral adalah: “Tolok-tolok ukur yang
dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral kita
benar-benar dinilai. Itulah sebabnya penilaian moral selalu berbobot. Kita
tidak dilihat dari salah satu segi, melainkan sebagai manusia. Apakah seseorang adalah penjahit yang baik, warga negara
yang selalu taat dan selalu berbicara sopan belum mencukupi untuk menentukan
apakah dia itu betul-betul seorang manusia yang baik. Barangkali ia seorang
munafik
atau mencari keuntungan. Apakah
kita ini baik atau buruk itulah yang menjadi permasalahan bidang moral”.
Berdasarkan uraian di atas, baik menurut Djahiri maupun Suseno, maka moral adalah ukuran baik dan buruk yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Dengan demikian, demoralisasi adalah melunturnya ukuran-ukuran penilaian baik dan buruk
manusia di kalangan masyarakat, dari praktek kehidupan sehari-hari manusia itu
sendiri, karena pengaruh nilai-nilai yang menglobal dari berbagai penjuru dunia, sehingga
dalam pergaulan sehari-hari manusia cenderung kuno dan lain sebagainya kalau
tidak berpenampilan sebagai manusia global (Suseno, 1989: 28).
Demoralisasi
adalah keadaan di mana kualitas moral warga masyarakat mengalami penurunan.
Demoralisasi berhubungan dengan rendahnya standar moral dan penetapan nilai
serta norma dalam masyarakat. Brooks dan Gable (2007) dalam (Zuriah, 2008: 59)
mengatakan bahwa demoralisasi berhubungan dengan rendahnya standar moral dan
penetapan nilai serta norma dalam masyarakat. Beberapa indikasinya ialah:
kuantitas dan kualitas kriminalitas sosial semakin meningkat, terjadinya
kerusahan yang bersifat anarkis tindakan korupsi merajalela, pergaulan bebas
dan meningkatnya jumlah pemakai dan pengedar narkoba, dan lain-lain.
Menurut
Brooks dan
Gable (2007) dalam (Zuriah, 2008: 63), ada beberapa hal yang dapat menyebabkan
demoralisasi, antara lain: krisis ekonomi yang berkepanjangan, meningkatnya
angka kemiskinan, meningkatnya jumlah pengangguran, menurunnya kewibawaan
pemerintah yang ditandai kegagalan pemerintah memenuhi tuntutan rakyat,
menurunnya kualitas aparat penegak hukum, adanya sikap-sikap negatif seperti
malas, boros, tidak disiplin, keengganan memahami dan mendalami ajaran-ajaran
agama, dan lain-lain.
b. Faktor-Faktor
Demoralisasi
Zuriyah
(2008: 70) mengemukakan faktor-faktor demoralisasi dalam masyarakat sebagai
berikut.
1) Faktor
keluarga
Akhlak anak bermula di rumah. Anak sejak kecil dan
sebagian besar masanya berada dalam lingkungan keluarga. Ini menunjukkan
perkembangan mental, fisik dan sosial adalah di bawah kawalan ibu bapak atau tertakluk kepada skrip hidup yang berlaku dalam
sebuah rumah tangga. Oleh karena itu yang demikian jika anak remaja menjadi nakal atau liar
maka kemungkinan besar puncaknya adalah berasal dari pembawaan keluarga itu
sendiri. Isu pembawaan keluarga itu ialah;
a) Status
ekonomi yang rendah.
b)
Kehidupan
ibu bapak
yang bergelombang dengan maksiat.
c)
Ibu
bapa lebih mementingkan pekerjaan daripada menjaga kebajikan keluarga.
d)
Rumah
tangga yang tidak kukuh atau bercerai berai.
e)
Syiar
Islam tidak berjalan dengan baik dan kukuh dalam rumah
tangga.
f)
Kurangnya pengawasan dari orang tua.
2)
Faktor pribadi
Pribadi yang
kotor adalah merujuk kepada seseorang yang rusak akhlaknya atau mempunyai
sifat-sifat yang megatif seperti pemarah, pemalas pembohong, dengki, pendendam, acuh tak acuh, egois, sombong, tidak amanah, mudah putus asa, keras
kepala dan seumpamanya. Keadaan ini
berlaku kerana individu itu telah dikuasai oleh naluri agresif dan tidak
rasional yang mewakili nafsu kehewanan, hasil daripada pendendam dan pengalaman yang
diterima sejak kecil. Pribadi yang kotor mungkin telah bermula sejak kecil dan
kemudian diperkukuh pula bila anak itu melalui zaman remaja. Dengan lain-lain
perkataan peribadi fitrah anak telah terencat dan menjurus kepada pribadi yang
kotor hasilnya.
3) Faktor
sekolah/tempat belajar
Sekolah
merupakan tempat memberi pengajaran dan pendidikan kedua kepada anak selepas
ibu bapak. Faktor sekolah yang bisa mempengaruhi
ialah:
a) Disiplin
sekolah yang longgar.
b)
Ibu
bapak tidak mengambil tahu kemajuan dan pencapaian anak di
sekolah.
c)
Guru
tidak mengambil tahu masalah yang dihadapi oleh murid-murid.
4)
Faktor lingkungan sosial
Faktor lingkungan adalah merujuk kepada peranan masyarakat, multi-media
dan pusat-pusat hiburan yang menyediakan berbagai produk yang boleh
menggalakkan dan meningkatkan rangsangan seksual. Aktivitas
faktor persekitaran yang merusakkan akhlak manusia ialah:
a) Persembahan
konser rock.
b) Pusat-pusat
video game.
c) Pengguguran.
d) Pergaulan
bebas lelaki dan perempuan.
e) Penyiaran
gambar porno.
f) Penumbuhan
pusat-pusat hiburan yang berunsur seks.
g)
Aktivitas
simbol seks seperti pertandingan ratu cantik dan pertunjukan fashion wanita.
Salah satu penyebab faktor lingkungan adalah salah
pergaulan. Diwaktu keluarga tidak lagi mampu memberikan rasa nyaman, kasih sayang, dan
perhatian bagi remaja, maka mereka pun mencari di luar rumah. Bergaul dengan
orang-orang yang mereka anggap bisa memberikan apa yang mereka tidak dapatkan
di keluarga. Hal demikian akan menimbulkan dua kemungkinan, karena mereka akan
mudah terpengaruh dengan pergaulannya, kalau saja pergaulannnya itu melakukan
kegiatan positif maka hasilnya akan baik, tetapi akan jadi masalah, apabila
pergaulan remaja tersebut di hal-hal yang negatif dan hanya mengejar kesenangan
belaka (hedonis). Maka mereka akan menjadi generasi yang menyimpang.
Dapat disimpulkan bahwa seorang remaja bisa baik maupun buruk moralitasnya
salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan dalam pergaulannya.
c. Dampak
Demoralisasi
Menurut
Zuriah (2008: 92) ada beberapa dampak dari demoralisasi yaitu sebagai berikut.
1) Dampak
psikologis
Hasil penyelidikan pakar psikologis, dampak yang
terjadi setelah melakukan demoralisasi pada diri remaja khususnya, akan sangat
berpengaruh pada jiwa dan akalnya. Misalnya, jiwanya menjadi pemurung dan
trauma, tidak bersemangat dalam hidup, atau mengurung diri sejauh mungkin dari
pergaulan luar dan berubah menjadi pribadi yang masygul.
2) Dampak
sosial
Secara sosial kemasyarakatan berdampak secara nyata. Biasanya
orang yang melakukan demoralisasi terlebih di lingkungan masyarakat, akan
berpengaruh besar pada masyarakat itu sendiri. Misalnya, masyarakat menjadi
risih dan tidak menghargai kehadiran si pelaku di lingkungan tersebut.
4.
Pengajaran Sastra
a.
Hakikat Pengajaran Sastra
Pengajaran sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam
peningkatan pemahaman siswa. Apabila karya-karya sastra tidak memiliki manfaat,
dalam menafsirkan masalah-masalah dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak
akan bernilai bagi pembacanya. Pada dasarnya pengajaran sastra mempunyai
relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran
sastra menduduki tempat yang yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan
secara tepat maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar
untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di
dalam masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra
memberikan pengaruh terhadap pembacanya. Sastra membentuk pola pikiran dan
respon pembaca terhadap apa yang dibacanya dengaan aktivitas kesehariaanya yang
saling berkaitan.
b.
Manfaat Pengajaran Sastra
Menurut Rahmanto (1996:16-25) manfaat pengajaran
sastra dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:
1)
Membantu keterampilan berbahasa
Terdapat empat keterampilan berbahasa yaitu, membaca,
menyimak, menulis dan berbicara. Pada proses pembelajaran tersebut, siswa dapat
meningkatkan kemampuannya melalui kegitatan bersastra. Pengajaran sastra
berperan meningkatkan keterampilan membaca siswa, misalnya saat siswa membaca
puisi atau membaca prosa/cerita. Melatih keterampilan berbicara saat siswa ikut
berperan dalam suatu drama. Selain itu, dapat melatih keterampilan menyimak
saat guru membacakan suatu karya sastra, atau saat mendengarkan karya sastra
melalui rekaman. Pengajaran sastra juga membantu siswa untuk mengembangkan
keterampilan menulis dengan menulis karya-karya sastra.
2)
Meningkatkan pengetahuan budaya
Dalam sistem pendidikan seharusnya disertai usaha
untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi peserta didiknya. Pemahaman
budaya berperan untuk menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa ikut
memiliki. Beberapa pengetahuan khusus mengenai budaya sendiri, pada dasarnya
menjadi ciri khas. Hal ini membantu menggenalkan karakter dan identitas budaya
yang ada. Pengajaran sastra jika dilaksanakan dengan bijaksana, dapat mengantar
siswa berkenalan dengan budaya, karakter suatu hal tertentu.
3)
Mengembangkan cipta dan rasa
Siswa merupakan individu yang memiliki kepribadian
yang berbeda-beda. Siswa pada dasarnya memiliki kecakapan dan siswa pula
menunjukkan kekurangannya. Secara umum kita memandang siswa pada satu kesatuan
yang kompleks, dengan memberikan perlakuaan yang sama. Namun, pada dasarnya
siswa memiliki kecakapan dan kekurangan tersendiri. Oleh karena itu, siswa
butuh diarahkan agar siswa menyadari potensinya. Dalam hal pengajaran sastra,
kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indera;
bersifat penalaran; yang bersifat objektif; dan bersifat sosial; serta dapat
ditambah lagi dengan sifat religius.
4)
Menunjang pembentukkan watak
Dalam nilai pengajaran sastra terdapat dua tuntutan
yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukkan watak. Pertama,
pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam.
Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih
banyak untuk mengenal rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti; kebahagian,
kebebasan, kesetian, kebanggaan diri sampai kelemahan, kekalahan, keputusasaan,
kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang mendalami sastra biasanya
mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal yang lebih bernilai dan
tak bernilai. Selain itu, tuntunan yang kedua yaitu, dalam pengajaran sastra
hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas
kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian
dan penciptaan. Sastra seperti yang kita ketahui, sanggup memuat berbagai medan
pengalaman yang sangat luas.
Pengajaran sastra memiliki manfaat bagi siswa. Selain
manfaat yang dikemukakan di atas sastra memiliki fungsi dalam pembentukan kepribadiaan.
Bagaimana peran sastra pada karakter siswa dan penanaman nilai-nilai agama.
c.
Materi Pengajaran Sastra
Bahan pengajaran sastra sangat penting pada proses
pembelajaran. Materi yang sesuai akan dapat membantu siswa lebih mudah utuk
memahami karya sastra. Materi ajar yang rumit dan sulit akan membuat siswa
merasa bosan untuk menikmati karya sastranya. Rahmanto (1996:27—33)
mengemukakan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memilih pengajaran
sastra yaitu sebagai berikut:
1)
Bahasa
Penguasaan suatu bahasa sebenarnya tumbuh dan
berkembang melalui tahap-tahap yang Nampak jelas pada setiap individu.
Sementara perkembangan karya sastra melewati tahap-tahap yang meliputi banyak
aspe kebahasaan. Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh
masalah-masalah yang akan dibahas, tapi juga faktor lain seperti: cara
penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu
penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang.
2)
Psikologi
Dalam memilih bahan pengajaran sastra, tahap-tahap
perkembangan psikologis hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat
besar pengaruhnya terhadap minta dan keenggaan anak didik dalam banyak hal.
Tahap perkembangan psikologi ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya
ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan
situasi atau pemecahan problem.
3)
Latar belakang budaya
Biasanya siswa akan lebih mudah tertarik pada
karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang
kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang
berasal dari lingkungan mereka atau yang memiliki kesamaan dengan mereka. Dengan
demikian secara umum hendaknya guru sastra memilih bahan pengajaran dengan
menggunakan prinsip yang mengutamakan karya-karya sastra yang latar ceritanya
dikenal siswa. Karya-karya sastra dengan latar budaya sendiri yang dikenal
siswa, akan membantu siswa untuk memahami budayanya sendiri.
d.
Strategi Pengajaran Novel
1)
Mentradisikan Membaca Novel
Selama ini, pengajaran novel dipandang terlalu berat
bagi subjek didik dan pengajarannya. Alasan utama menurut Endraswara (2005:
176) adalah (1) tak tersedianya waktu cukup di sekolah untuk membaca novel
sampai tuntang, (2) di sekolah tak tersedia aneka judul novel yang layak
sebagai pilihan, dan (3) hampir setiap novel yang dipandang berkualitas relatif
tebal.
Endraswara (2005: 176) mengemukakan bahwa tugas
seorang pengajar novel sedikit berbeda dengan pengajaran fiksi lain. Novel
merupakan karya yang tebal dan tentu saja akan menyedot dana yang relatif
banyak, tentu harus hati-hati untuk menuju pengajaran yang efektif dan efisien.
Untuk itu yang perlu dilakukan pengajaran novel antara lain sebagai berikut.
a)
Mendorong subjek didik agar berminat dan tekun
membaca, memilih sendiri novel yang disukai, membuat sinopsis sendiri.
b)
Menghindarkan peserta didik hanya membaca sinopsis
novel dari orang lain.
c)
Memberikan contoh membaca novel yang baik, antara lain
harus urut, mencari waktu luang, penuh penghayatan, dan membuat ringkasan,
menyediakan beberapa novel di kelas maupun di perpustakaan sekolah agar peserta
didik lebih leluasa membaca.
d)
Membaca novel sebaiknya diarahkan sebagai tugas rumah
secara individual, dari tugas tersebut selanjutnya dibicarakan dan didiskusikan
dalam kelompok kecil.
e)
Setiap kelas dapat dibagi menjadi beberapa kelompok,
masing-masing dapat membaca novel yang berbeda, seterusnya diadakan diskusi.
f)
Setiap semester sekali ada baiknya dilakukan lomba
membuat sinopsis novel.
g)
Untuk mengetahui apakan peserta didik benar-benar
membaca atau tidak, lomba baca novel tak hanya kualitas sinopsis yang penting
dievaluasi, melainkan juga banyak sedikitnya yang mereka baca, sekurang-kurang
per semester 5 buah (judul).
2)
Seleksi Novel
Pengajaran sastra, kadang-kadang merasa sulit
menentukan novel mana yang relevan diajarkan. Dalam jagad sastra Indonesia,
terlalu banyak terbitan novel yang mengalir deras, mulai dari novel serius
sampai novel hiburan (Endraswara, 2005: 177).
Zulfahnur (dalam Endraswara, 2005: 178) menyatakan
bahwa tugas pengajar sastra antara lain menyeleksi novel sebagai bahan ajar.
Tugas demikian, bukanlah mutlak dan harga mati. Karena itu, tugas yang diemban
harus dipandang sebagai “pelayan” saja, untuk menyeleksi novel mana saja yang
layak dibaca oleh peserta didik pada tingkat tertentu. Persoalan yang mungkin
hadir dari tugas ini antara lain adalah sebagai berikut.
a)
Pengajar sering mengandalkan novel tertentu
kesukaannya atau menurut seleranya.
b)
Pengajar belum tentu memiliki koleksi novel yang cukup.
c)
Pengajar yang kurang menguasai kriteria seleksi novel
juga akan menyesatkan.
Endraswara
(2005: 179) menyatakan bahwa dalam memilih novel perlu memperhatikan dua hal
yaitu kevalidan dan keseuaian. Kevalidan berhubungan dengan kriteria dari
aspek-aspek kesastraan dan kesesuaian berkaitan dengan peserta didik sebagai
konsumen novel dan proses pengajaran novel. Kevalidan meliputi berbagai hal,
antara lain novel harus benar-benar teruji sehingga ditemukan novel yang baik.
Untuk itu penyeleksi dapat menerapkan kriteria: (a) mencari novel yang memuat
nilai pedagogis, (b) novel yang mengandung nilai estetis, (c) novel yang
menarik dan bermanfaat, dan (d) novel yang mudah dijangkau.
H. Kerangka Pemikiran
Penulis dalam penelitian ini memilih
novel Azure karya Rahayu Lestari
dengan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan ini digunakan untuk mencari
bukti bahwa karya sastra sebagian besar terpengaruh oleh kehidupan sosial
masyarakat luar. Dasar pemikiran penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa
sebuah karya sastra mempunyai hubungan erat dengan masyarakat. Sebuah karya
sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di dalam
masyarakat.
Pada penelitian
ini, penulis menggunakan teori sosiologi sastra Ratna karena pengarang mengklasifikasikan
bahwa karya sastra lahir sebagai pengaruh dari kehidupan sosial masyarakat
luar. Pengarang juga mengklasifikasikan hubungan antara sastra dengan kehidupan
sosial antara lain (1) karya sastra ditulis oleh pengarang, yang merupakan
anggota masyarakat; (2) karya sastra hidup dalam masyarakat dan menyerap
aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat; (3) medium karya sastra dipinjam
melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah-masalah kemasyarakatan; (4) karya sastra terkandung estetika, etika, dan
logika; (5) sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat
intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya
sastra.
I. Metode Penelitian
1.
Subjek dan Objek Penelitian
a. Subjek
Penelitian
Sumber
data adalah subjek penelitian dari mana data diperoleh. Dalam penelitian
sastra, sumber data berupa teks novel, cerita pendek, drama dan lain-lain
(Siswantoro, 2005: 63-64).
Subyek
penelitian ini adalah novel Azure karya Rahayu Lestari, yang diterbitkan oleh
Safirah Diva Press dengan tebal 386 halaman dan diterbitkan pertama kali pada
bulan Mei 2012.
b. Objek
Penelitian
Objek
penelitian adalah gejala atau fenomena yang akan diteliti. Objek penelitian
terdiri atas dua maca objek yaitu objek material dan objek formal. Objek
manusia secara material berarti kenyataan yang diselidiki atau dibahas adalah
manusia itu sendiri. Objek manusia secara formal merujuk kepada aspek khusus
dari objek material yang diteliti, seperti: perilaku itu sendiri, kebudayaan
manusia, kehidupan sosial, dan sebagainya (Siswantoro, 2005: 54-55).
Obyek
penelitian ini adalah demoralisasi yang dialami tokoh utama dalam novel Azure
karya Rahayu Lestari.
2.
Metode Pengumpulan Data
Metode
dapat diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang sistematis yang dilakukan
seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau
menguak kebenaran atas fenomena tertentu (Siswantoro, 2005: 126).
Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode baca catat.
Metode baca catat yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan
jalan membaca kemudian mencatat secara langsung dari novel. Metode ini
dilakukan dengan cara membaca novel Azure karya Rahayu Lestari yang diteliti.
Kajian membaca ini diikuti dengan pencatatan dari hasil pengamatan data-data
yang berindikasi demoralisasi yang melekat pada tokoh utama dalam novel Azure
karya Rahayu Lestari yang diteliti. Semua data yang dikumpulkan kemudian
dikelompokkan menurut kategori yang telah disebutkan sebagai bahan analisis.
3.
Instrumen Penelitian
Instrumen
penelitian adalah alat yang merujuk kepada sarana pengumpulan data (Siswantoro,
2005: 65). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kartu data.
Kartu data digunakan untuk mencatat dan mengklasifikasikan hasil observasi
semua data yang diperoleh peneliti yang berkaitan dengan demoralisasi dengan
keadaan masyarakat sekarang. Peneliti juga menggunakan logika dalam mencari dan
menggunakan data-data yang berkaitan dengan peneliti atau sesuai jenis data
yang dilakukan.
4.
Teknik Analisis Data
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif. Deskriptif merupakan metode yang digunakan dengan cara
menggambarkan dan memaparkan unit data yang penting dan diperlukan untuk
mencapai tujuan penelitian. Unit-unit tersebut digambarkan dan dikelompokkan
secara jelas agar dapat dianalisis sesuai dengan data yang telah dicatat.
Kualitatif merupakan bagaimana cara penulis untuk menginterpretasikan data-data
yang diperoleh agar mendapat hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun
langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Membaca
dan memahami isi novel Azure karya Rahayu Lestari secara berulang-ulang dengan
cermat dan teliti.
b. Melakukan
kegiatan analisis kalimat, paragarap, dialog maupun monolog sebagai data
penelitian yang berhubungan dengan demoralisasi.
c. Mencatat
dan mengklasifikasikan data yang berhubungan dengan demoralisasi yang
disesuaikan dengan permasalahan yang akan dianalisis, kemudian dimasukkan dalam
kartu data.
d. Menyajikan
data dalam bentuk tabel dari hasil identifikasi.
e. Menganalisis
dan menginterpretasikan atau menafsirkan data yang sudah diidentifikasi.
f. Membuat
kesimpulan data dengan mendeskripsikan data yang telah dianalisis ke dalam
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aziez,
Furqonul dan Hasim, Abdul. 2010. Menganalisis
Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Berita
Online. 2012. Pelaku Aborsi Didominasi
Pelajar. Cianjur: Tempo.com.
___________.
2012. Ratusan Pelajar Sekolah Terlibat
Tawuran. Blitar: Antarjatim.com
Damono,
Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djahiri,
A Kosasih. 1996. Menelusuri Dunia Afektif.
Bandung: Laboratorium Pengajaran PMP IKIP Akademik.
Endraswara,
Suwardi. 2005. Metode dan Teori
Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Escarpit,
Robert. 2005. Sosiologi Sastra.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jabrohim.
2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya.
Lestari, Rahayu. 2012. Azure. Yogyakarta: Safirah Diva Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Peengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rahmanto, B. 1992. Metode
Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
___________.
1996. Metode Pengajaran Sastra.
Yogyakarta: Kanisius.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
__________________.
2013. Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswantoro.
2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Soekanto,
Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suseno,
Franz Magnis. 1989. Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta :
Kanisius.
Zuriah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta:
Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar